Tokoh

Biografi Ibnu Daqiq al-Ied

06 Jul 2020 01:50 WIB
2507
.
Biografi Ibnu Daqiq al-Ied

Naman lengkapnya adalah Taqī al-Dīn Abu al-Fath Muhammad bin Alī bin Wahb bin Mutī' bin Abī at-Thā'ah al-Qusyairī. Beliau dijuluki Ibnu Daqīq al-Īed sama seperti ayahnya. Julukan Ibn Daqiq al-Ied bermula ketika kakeknya (Syaikh Mutī') yang mana  pada saat hari raya mengenakan jubah yang sangat putih hingga menyerupai tepung (Daqiq).

Taqī al-Dīn Ibn Daqīq al-Īed dilahirkan pada Sabtu, 25 Sya’ban 625 H, di atas kapal dekat pesisir Yanbu’, Laut Merah. Tatkala kedua orang tuanya bertolak ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dari kotanya, Qus.

Setibanya di Tanah Haram, Ayahnya membawa Syekh Muhammad kecil bertawaf dan mendoakannya supaya kelak menjadi orang yang alim dan senantiasa dapat mengamalkan ilmunya.

Ayahnya, Alī ibn Daqīq al-īed adalah seorang mufti yang unggul dalam ilmu tafsir, hadits, dan fiqh. Begitu juga kakeknya yang terkenal dengan kealiman, ketakwaan, serta kemuliaannya. 

Qus, adalah sebuah kota dimana beliau tumbuh dan memulai awal pengembaraan ilmunya. Kota ini merupakan kiblat keilmuan pada kala itu. Letaknya di pesisir timur Sungai Nil, di provinsi Qena, 645 Km dari arah selatan Kota Kairo. 

Taqī al-Dīn Ibn Daqiq al-Ied kecil tidak suka bermain seperti anak-anak sebayanya dan tidak suka melakukan hal yang sia-sia. Bahkan beliau sangat bersungguh-sungguh dan berhati-hati dalam perkara kesucian.

Hingga suatu ketika dikisahkan istri dari ayahnya melihat ia membawa cawan tinta dan mencucinya berkali-kali, lalu ayahnya bertanya kepadanya “apa yang sedang kamu lakukan?” dan ia pun menjawab “saya ingin memakai tinta ini.” Hal ini menunjukkan bahwa ibn Daqiq al-Ied kecil lebih suka menghabiskan waktunya untuk menulis dan bersungguh-sungguh daripada bermain dan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat.

Perjalanan keilmuwan Ibn Daqiq dimulai dengan menghafal al-Quran seperti kebanyakan Ulama besar lainnya, kemudian beliau belajar fiqh malikiyah kepada ayahnya dan belajar fiqh syafi’iyah kepada salah satu murid ayahnya, Syaikh al-Baha al-Qafthi. Sebelumnya beliau juga mendalami ilmu nahwu dan bahasa di Kota kelahirannya, Qus. Beliau terkenal dengan ketakwaan dan kecintaannya pada ilmu, dan juga gemar menimba ilmu di setiap tempat dan pengembaraannya kepada seorang alim.

Kemudian Ibn Daqiq menuju Damaskus dan Iskandariyah untuk mendalami ilmu hadits, lalu bertolak ke Kairo untuk mendalami ilmu agama kepada Syaikh ‘Izzu al-Din ibn Abd as-Salām yang beliau juluki 'Sulthānul Ulamā' karna kecintaan dan kekagumannya terhadap sang guru. 

Sebab kealimannya dan ketaqwaannya, selama mukim di Mesir beliau mempunyai posisi yang penting di kalangan para umara', wazir, ulama’, pelajar, serta seluruh kalangan masyarakat, hingga ia menjabat sebagai 'Masyakhakh Madarasah al-Kamiliyah', yang mana merupakan madrasah terbesar di zamannya.

Ketika Qadlī al-Qudāt, hakimnya para hakim mengalami kekosongan jabatan, disebabkan wafatnya Abd ar-Rahman bin Binti al-A’iz, maka Sultan Lajin, raja kala itu mencari sosok yang tepat untuk menggantikannya. Lalu Syekh Dliyā’ menunjukkan pada raja terhadap sesosok ulama yang mempunyai karakter seperti Muhammad bin Idrīs as-Syafi’i, Sufyān ats-Tsaurī dan Ibrāhīm bin Adham. Ulama tersebut adalah syaikh Taqiy ad-Din bin Daqiq al-Ied. Ini menunjukkan bahwa terdapat sifat keilmuan, tasawwuf, serta zuhud yang bersemayam dalam dirinya. 

Kemudian Sultan Lajīn meminta Ibn Daqīq untuk mengisi kedudukan Qadlī al-Qudāt, namun beliau menolaknya karena pada saat itu banyak dari kalangan pemerintah yang mempunyai sifat arogan dan dzalim kepada rakyatnya, dan Ibn Daqīq al-Īed tidak ridho dengan hal tersebut. Akan tetapi Raja Lajīn dan Ulama tetap meminta Ibn Daqīq al-Īed untuk menjadi Qadlī Qudhāt dengan alasan demi berkhidmah pada agama dan umat muslim, akhirnya Ibn Daqīq al-Īed pun menerima tawaran tersebut dan beliau menempuh masa jabatannya yang pertama pada 18 Jumadil Ula 695 H.

Pada masa jabatan Ibn Daqīq al-Īed sebagai Qadlī Qudhāt, terjadilah peristiwa sengit antara beliau dan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa tidak sejalannya pemerintah yang arogan tersebut dan Taqī ad-Dīn Ibn Daqīq al-Īed, ulama pencinta keadilan dan pembela kebenaran.

Dikisahkan bahwa Taqī al-Dīn pernah diturunkan dari jabatannya. Hal ini disebabkan karena menghukumi sebuah perkara dengan Hakikat, bukan dengan dzahirnya Syariat. Beliau menghukum seorang pencuri sapi yang tidak mau mengakui perbuatannya. Hingga pada akhirnya keluarlah dua tanduk dari kedua mata pencuri tersebut dan ia meninggal seketika itu juga. Sebab kejadian itu, Syekh Izzu al-Dīn mencopot jabatan syekh Taqī al-Dīn sebab ketinggian derajatnya dan mengiriminya surat. "Aku menyuruhmu menghakimi dengan dzahir syariat saja, bukan hakikat".

Ibn Daqīq al-Īed tidak hanya seorang Qadlī Qudhāt tetapi beliau adalah seorang ‘alim yang ahli dalam bidang nahwu, sastra, nadzam, serta natsar. Dan tidak ada seorangpun yang menandinginya kala itu. Dari aspek syair, Ibn Daqiq al-Ied dianggap sejajar dalam Thabaqat Mukhadramūn, yaitu setara dengan level an-Nābighah al-Dzibyani dan Abi Tammam.

Dari sisi hadis, Taqiy ad-Din bin Daqiq al-Ied adalah salah satu ulama besar dalam ilmu hadits dirayah dan riwayah yang huffadz dan tsiqoh. Beliau tidak akan meriwayatkan hadits kecuali telah melewati tahap penelitian dan kehatian-hatian, mengumpulkannya tidak semata-mata dalam segi riwayat, bahkan dari sisi fiqhnya juga. 

Ibn Daqiq al-Ied bermadzhab Maliki dan Syafi’i seperti ayahnya, tetapi tidak taqlid terhadap keduanya, melainkan beliau berijtihad sendiri dalam ranah kedua madzhab tersebut. Sehingga pada akhirnya beliau dianggap sebagai mujtahid. Sehingga para ulama yang semasa, mengakui bahwa beliau mencapai level mujtahid dan menjadi Mujaddid di abad ke-7.

Diantara karangan beliau yang melimpah akan pengetahuan, mendalamnya makna, serta banyaknya faidah adalah Ikham al-Ahkam Syarah ‘Umdah al-Ahkam, Kitab as-Sawānih, al-Arba’īn fī Riwayah ‘an Rabb al-‘Ālamīn, dan masih banyak lagi.

Taqiy ad-Din ibn Daqiq al-Ied wafat pada hari Jumat, 21 Safar tahun 702 H, dan beliau dimakamkan di lereng bukit Muqattham, Kairo. Beliau meninggal ketika berumur 77 tahun yang beliau lalui dengan kesungguhan dalam mencari dan mendalami ilmu, mengamalkannya, hingga menghasilkan  banyak karya yang bermanfaat bagi umat manusia hingga saat ini.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: