Muharram
adalah bulan yang dimuliakan oleh Islam. Kemuliaan, kesucian dan kesakralannya
tidak hanya karena mendapatkan legalitas dari agama tetapi juga karena Muharram
itu sendiri merupakan dimensi waktu khusus yang suci dan sakral secara wujud
riilnya.
Kesimpulan ini tidak
begitu mengherankan, karena terkadang nash agama datang untuk menguatkan fakta
kejadian yang ada di alam semesta ini, dan terkadang berlaku sebaliknya, yakni
semesta menjadi berharga dan disucikan karena mendapatkan legalitas dari
nash-nash agama.
Oleh sebab itu, terkadang
aktualisasinya diukur dengan kadar keimanan dan keshalehan masing-masing
individu karena akal memang tidak begitu berperan dalam ranah pengaturan
hal-hal yang disucikan ini. Untuk informasi lebih lanjut mengenai masalah ini
bisa kita lihat sendiri misalnya dalam kitab Mukawwanat al-Aql al-Muslim
karya Syaikh
Ali Jum’ah.
Sebagaimana kita
jumpai dalam hadist-hadist Nabi, Muharram adalah bulan sakral dan agung. Rasa-rasanya
menjadi tidak begitu mengherankan jika di bulan ini banyak terjadi peristiwa-peristiwa
besar lintas zaman. Salah
satunya yang terpenting dan patut kita refleksikan kembali secara proporsional ialah kasus terbunuhnya as-Syahid,
cucu Rasulullah Saw, Sayyidina
Husain radhiyallahu ‘anhu pada tahun 680 M di Karbala, Irak.
Peristiwa ini sangat
getir dan memilukan hati dan pikiran. Tapi di sisi lain menunjukkan kebenaran
sabda Rasulullah Saw perihal kejadian yang akan terjadi di masa depan sepeninggal
beliau dan sekaligus menunjukkan kedudukan tinggi Sayyidina
Husain Ra dalam memori umat muslim sebagai figur suci yang pantas untuk
dicintai, dihormati dan diteladani sikap dan budi pekertinya.
Menyoal kedudukan
mulianya, Syaikh Abdullah bin Muhammad as-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani
mengulasnya secara apik dalam kitabnya yang berjudul al-Kanz as-Tsamin fi
Ahadist an-Nabi al-Amin tatkala menjelaskan mengenai sabda Rasulullah Saw:
حُسَيْنٌ
مِنِّي وَأَنَا مِنْ حُسَيْنٍ
Dalam kitab tersebut
beliau menulis kira-kira begini maknanya:
“Maksud
dari hadist tersebut yakni, bahwa Husain berasal dari darah daging dan nasabku,
dan aku bagian dari
dirinya dalam hal kecintaan, penghargaan dan kehormatan.
Uslub seperti ini
dalam linguistik Bahasa Arab disebut musyakalah. Dan yang dimaksud
dengan itu di dalam hadist ini adalah penggabungan yang sempurna dari dua
entitas, yakni kedirian Sayyidina Rasulullah
Saw dan kedirian Sayyidina Husain Ra, sehingga salah satu dari mereka berdua
merasakan apa yang terjadi pada yang lain secara emosional-nurani, seperti
halnya yang dirasakan seseorang tentang dirinya ketika sedang lapar dan haus.
Oleh sebab itu, pada
hari ketika Sayyidina Husain Ra terbunuh, Ummu Salamah Ra memimpikan Nabi Muhammad
Saw, semoga Allah Swt memberkatinya dan memberinya kedamaian, dengan botol atau
semacam mangkok besar di tangannya yang berisikan darah. Nabi berkata kepada
Ummu Salamah,
“Tidak henti-hentinya aku mengumpulkan darah Husain sejak
pagi hari ini”.
Berita
pembunuhan Sayyidina Husain Ra tentu saja belum sampai di kota Nabi, Madinah,
karena jarak antara kota ini dengan Irak membutuhkan waktu sebulan perjalanan. Hal ini menandakan
bahwa kedirian Sayyidina Rasulullah Saw selalu merasakan—kendati dia sudah
berada di raudhah mulia—dengan apa yang terjadi pada kedirian Sayyidina Husain
Ra.
Karena adanya
kesamaan ini, maka bergerak juga kedirian Rasulullah Saw dalam mengumpulkan
darah cucunya tersebut dari tempat peristirahatannya itu.
Mimpi seperti ini
tidak terjadi di hari ketika Sayyidina Hasan Ra syahid di Madinah dengan cara
diracun, setelah dia mengeluarkan dari mulutnya gumpalan darah seperti potongan
hati. Hal serupa tidak terjadi padanya karena tidak adanya pencampuran
eksistensial sebagaimana yang terjadi pada Sayyidina Husain Ra.
Percampuran kedirian
Sayyidina Husain Ra dengan kakeknya, Rasul yang terpilih, adalah sebuah rahasia
yang tentunya bukan di sini tempat untuk menjelaskannya secara detil.
Dan lihatlah—semoga Tuhan
memberkati Anda—sabda Rasulullah Saw: {Dan saya dari Husain}, menunjukkan, wallahu
a’lam, bahwa setelah mangkatnya Rasulullah Saw ke hadirat Allah Swt,
eksistensi Muhamad dan kedirian Husain bercampur melalui transfigurasi tajalli
dan penciptaan, maka hakikat itu pun bersemayam di dalam kedirian Sayyidina
Husain Ra.
Oleh sebab itu, dia
menolak untuk menerima apa yang ditawarkan kepadanya ketika dia memutuskan
pergi ke Irak untuk melawan Yazid, seperti halnya Nabi yang menolak untuk
menerima apa yang ditawarkan kepadanya agar mencabut dakwah dan risalahnya,
seraya mengatakan adagiumnya yang terkenal: “Andaikan mereka meletakkan
matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan
perintah ini, maka sekali-kali aku tidak akan pernah meninggalkannya, hingga
Allah memenangkannya atau aku ikut binasa karenanya (karena menegakkannya).”
Sayyidina Husain Ra,
dengan tekad dan keteguhannya dalam
menegakkan kebenaran, bersikukuh untuk tetap melaksanakan kebenaran yang
merupakan bagian dari tajallinya dan yang telah bersemayam di dalam batinnya
itu; sabda kakeknya benar-benar menjelma di dalam dirinya, “atau dia sendiri
hancur karenanya”, maka Husain binasa tanpa berhasil mendirikan kekhalifahan;
yang sangat dia inginkan untuk menegakkannya di atas kebenaran karena
melaksanakan keinginan batin kakeknya yang ada di dalam dirinya dan juga
sebagai wujud ketaatannya dalam melaksanakan nash-nash syariat.
Makna seperti ini
tidak ada dalam diri saudaranya, Sayyidina Hasan Ra, yang mana kakeknya
menyebutnya dengan “Sayyid” itu. Renungkanlah kesimpulan ini dengan seksama.
Sebagai catatan
tambahan bahwa manifestasi kebenaran (tajalli haqiqat) dan
percampurannya adalah sebanyak yang mampu ditampung oleh kedirian Husein
sendiri, karena adanya perbedaan besar antara maqam kenabian dan maqam
kesyahidan, jadi pahamilah. Maqam tersebut memiliki penjelasan panjang yang
tidak dapat diakomodasi oleh tulisan yang serba singkat ini. Demikian
keterangannya, wallahu a’lam.”
Sebagai penutup dari
tulisan yang serba singkat ini, lalu bagaimana seharusnya sikap kita saban kali
merayakan bulan Muharram, apakah harus bersedih ataukah bergembira?
Barangkali sikap
proporsional dalam merespon masalah ini yakni sebagaimana perkataan Habib Ali
Zain Abidin al-Jufri: “Barang siapa
bergembira di hari
Asyura (10 Muharram) karena kemenangan Nabi Musa al-Kalim ‘alaihissalam
tanpa sampai lupa diri dan berlebihan-lebihan, maka dia dalam kebenaran. Dan
barang siapa
di hari ini berduka atas penderitaan Sayyidina Husain Ra dan Ahlul baitnya tanpa sampai
bersikap ekstrim dan berlebih-lebihan, maka dia berada di atas kecintaan.
Kebenaran dan cinta di sini tidak saling bertentangan.” Sekian. Semoga
bermanfaat.
Kairo,
10 Muharram 1443 H.