Sayyidah Nafisah adalah cucu dari Sayyid Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Dia lahir di Makkah pada tahun 145 H. Ketika usia 5 tahun, ia bersama ayahnya berpindah ke Madinah.
Di kota Madinah, Sayyidah Nafisah mendengar pengajian hadis dan fikih di Masjid Nabawi bersama para masyayikh. Ia tumbuh menjadi sosok yang cerdas meskipun tidak bisa membaca dan menulis.
Sayyidah Nafisah terkenal karena kesungguhannya dalam beribadah semenjak masih belia. Anak dari saudara laki-lakinya bernama Zainab bercerita: “Aku telah melayani bibiku selama 40 tahun dan aku tidak pernah melihatnya tidur di malam hari, tidak pernah melihatnya berbuka di siang hari kecuali dua hari Id dan hari tasyrik.
“Aku bertanya kepadanya, ‘Apa engkau tidak kasihan dengan tubuhmu?’
“Dia menjawab, ‘Bagaimana aku kasihan dengan tubuhku sedangkan di depan mataku ada banyak rintangan yang tak seorang pun bisa melewatinya kecuali orang-orang yang beruntung?!’”
Pada tahun 193 H, Sayyidah Nafisah bersama suaminya melaksanakan ibadah haji, kemudian berniat mengunjungi Mesir. Mendengar kabar cicit Nabi akan datang ke negeri kinanah itu, masyarakat sangat gembira dan antusias. Mereka berebut menawarkan binatang tunggangan sampai tempat tinggal.
Baca juga: Alasan Imam Asy-Syafi’i Berguru kepada Perempuan
Keputusan akhirnya, Sayyidah Nafisah bersama suami akan tinggal di rumah saudagar kaya bernama Jamaluddin. Penduduk Mesir yang sangat mencintai keluarga Nabi bergantian sowan meminta doa dan mengharap keberkahan.
Setelah beberapa bulan tinggal di rumah Jamaluddin, konon Sayyidah Nafisah bersama suaminya tinggal di rumah Umi Hanik. Di samping rumahnya, tinggal keluarga Yahudi yang mempunyai anak perempuan lumpuh tak bisa berjalan.
Suatu ketika, ibu dari anak itu ingin pergi ke pemandian umum. Ia bertanya ke anaknya, “Kamu ikut aku atau gimana?”
Si anak menjawab, “Titipkan saja aku ke perempuan itu (Sayyidah Nafisah)!”
Tak berselang lama, si ibu meminta izin untuk menitipkan anaknya di rumah Sayyidah Nafisah.
Saat waktu Zuhur tiba, Sayyidah Nafisah mengambil wudhu. Air bekas wudhunya mengalir sampai ke samping anak lumpuh itu. Seperti mendapat ilham, si anak menyentuh air dan mengusapkannya ke seluruh tubuh. Dengan izin Allah, si anak lumpuh bisa berdiri dan berjalan seperti tak pernah terjadi apa-apa.
Ketika ibunya kembali, ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya hari ini. Si anak menceritakan apa yang dialaminya dan satu keluarga bersyahadat masuk Islam.
Baca juga: Imam Al-Kasani Meminang Putri Gurunya dengan Buku
Seiring semakin tersebarnya berita ini, lebih dari 70 orang Yahudi masuk Islam dalam waktu singkat. Dan semakin banyak orang berkunjung ke rumah Sayyidah Nafisah untuk meminta didoakan.
Suatu ketika, air sungai Nil surut. Banyak orang gelisah karena pertanian terancam gagal. Salah satu dari mereka mengadu ke Sayyidah Nafisah. Kemudian beliau memberinya kerudung agar dilemparkan ke sungai Nil. Dengan izin Allah, air sungai Nil kembali meluap.
Salah satu tokoh besar yang sering meminta doa kepada beliau adalah Imam As-Syafi’i. Meskipun reputasinya sebagai seorang imam mazhab tidak diragukan, Imam As-Syafi’i tidak gengsi sowan kepada Sayyidah Nafisah untuk mendengarkan hadis dan mengharap berkah.
Di saat sakit, Imam As-Syafi’i mengutus salah satu muridnya untuk sowan ke Sayyidah Nafisah meminta doa. Dan selalu setelah utusan kembali, penyakit Imam As-Syafi’i sembuh.
Sampai ketika sakit menjelang wafat, Imam As-Syafi’i mengirim utusan seperti biasa. Sayyidah Nafisah berkata, “Semoga Allah memberinya kenikmatan dapat melihat-Nya.” Dari sana Imam As-Syafi’i tahu bahwa ajalnya akan datang, kemudian ia berwasiat agar Sayyidah Nafisah berkenan untuk mensalati jenazahnya nanti.
Pernah suatu ketika, karena melihat semakin banyaknya orang yang datang sowan Sayyidah Nafisah meminta didoakan agar hajatnya terkabul, suaminya ingin membawanya pulang ke Madinah. Namun dia menolak.
Ia berkata, ”Aku pernah bermimpi bertemu baginda Rasul. Ia berkata, jangan pergi dari Mesir karena Allah akan mewafatkanmu di sana.”
Baca juga: Teladan Cucu dan Cicit Rasulullah: Keburukan Dibalas Kebaikan
Karena tahu sampai akhir hayatnya di Mesir, Sayyidah Nafisah menggali kuburnya sendiri dan mentirakati dengan hataman al-Qur’an ribuan kali. Sebagian riwayat berkata 1900 kali, sebagian lain 2000 kali dan bahkan ada yang berkata sampai 6000 kali. Yang pasti, Sayyidah Nafisah turun ke lubang makam siang dan malam untuk mendaras al-Qur’an dan shalat di sana.
Pada awal Ramadan, Sayyidah Nafisah sakit keras. Ia mengirim surat ke suaminya yang sedang berada di Madinah untuk pulang. Para dokter datang untuk melihat kondisi. Mereka memberi saran agar Sayyidah Nafisah membatalkan puasanya agar tubuhnya kuat.
Ia menolak dengan keras, “Naudzubillah! Selama 30 tahun aku berdoa agar aku wafat dalam keadaan berpuasa dan sekarang kalian datang menyuruhku membatalkan?”
Sampai pertengahan bulan Ramadan, sakitnya semakin parah. Sayyidah Nafisah melanjutkan bacaan al-Qur’annya di surat al-An’am. Dan tepat sampai pada ayat (قُل لِّلَّهِۚ كَتَبَ عَلَىٰ نَفۡسِهِ ٱلرَّحۡمَةَۚ) ruhnya berpisah dari jasad.
Sebelum meninggal, Sayyidah Nafisah berwasiat agar suaminya yang akan mengurus jenazahnya. Awalnya, suaminya ingin agar jasad istrinya dimakamkan di Baqi’ bersama keluarganya. Ia datang membawa peti untuk membawa jenazahnya. Namun masyarakat Mesir keberatan. Mereka meminta agar jenazah Sayyidah Nafisah dimakamkan di Mesir. Suaminya menolak.
Kemudian penduduk Mesir melapor ke penguasa setempat, meminta agar mau membujuk suaminya.
Sang penguasa lalu bergegas mendatangi suaminya, “Demi Allah, jangan larang kami untuk melihat makam Sayyidah Nafisah. Dulu sewaktu masih hidup, ketika tertimpa musibah atau sedang punya hajat, kami datang ke rumahnya meminta doa. Maka, tinggalkanlah jenazahnya di sini sehingga jika kita punya hajat, kita bisa bertawasul, berdoa kepada Allah di samping makamnya.”
Awalnya suami Sayyidah Nafisah bersikukuh menolak, sampai Nabi mendatanginya lewat mimpi agar meninggalkannya untuk penduduk Mesir.
اللهم اكرمنا بحبها وأنفعنا ببركتها وقربنا بمودتها إلى جدها المصطفى
Sumber: Mursyid az-Zuwâr ilâ Qubûr al-Abrâr (PDF) karya Mufiquddin bin Utsman.