Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Islam Agama Fitrah

Avatar photo
42
×

Islam Agama Fitrah

Share this article

Dalam suatu hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW
bersabda, “Setiap manusia dilahirkan ibunya di atas fitrah. Kedua orang
tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Dalam pandangan Islam,
orang tua mesti menumbuhkembangkan anak mereka agar tetap memegang teguh
Tauhid. Lebih dari itu, mereka juga semestinya terus berupaya menjadikan
anak-anaknya Muslim yang baik, yang dapat menjadi kebanggaan Rasulullah SAW, di
dunia dan akhirat kelak.

Ada satu kisah yang terkandung dalam hadits riwayat Ibn Jarir, tentang
betapa tingginya perhatian Rasulullah SAW terkait hal itu. Seperti dituturkan
Al-Aswad ibn Sari’ dari Bani Sa’ad, yang mengikuti empat peperangan bersama
Nabi SAW.
Dalam
suatu peperangan, sebagian dari pasukan Islam kedapatan membunuh anak-anak.
Tindakan itu mereka lakukan setelah membunuh pasukan musuh.

Tatkala berita itu sampai kepada Rasulullah SAW, beliau SAW sangat marah. “Kenapa mereka membunuh anak-anak?” tanya Nabi SAW dengan nada keras. Salah seorang dari mereka menjawab, “Ya Rasulullah, bukankah mereka itu
anak-anak kaum musyrikin?”

“Yang terbaik di antara kalian pun juga anak-anak kaum musyrikin.
Ketahuilah bahwa tidaklah seorang pun dilahirkan kecuali dilahirkan dalam keadaan
fitrah. Dia akan tetap dalam fitrahnya itu sampai lisannya sendiri mengubahnya.
Maka kedua orang tuanya-lah yang meyahudikan dan menasranikannya,” jelas
Rasulullah SAW, sama sekali tidak membenarkan perbuatan mereka itu.

Secara garis besar,
Islam sebagai agama fitrah terbagi atas empat ajaran: Pertama, aqidah
(kepercayaan). Ajaran tentang aqidah Islam bersumber kepada al-Quran dan Sunnah
Rasul. Dalam bidang ini akal tidak diberi kesempatan untuk merubah hal-hal yang
telah ada dalam al-Quran dan sunnah Rasul guna menghindari penyelewengan.

Kedua, ibadah. Dalam Islam
ada dua macam ibadah yaitu ibadah dalam pengertian umum (ghairu mahdah) dan
ibadah dalam pengertian khusus (mahdhah). Aspek ibadah (khusus) di
sini adalah dalam pengertian khusus yang merupakan upacara pengabdian yang
bersifat ritual. Yang telah diperintahkan dan diatur cara-cara pelaksanaannya
dalam al-Quran dan Sunnah Rasul.

Di sini akal tidak
diberi kesempatan untuk menambah, mengurangi atau mengubah ketentuan yang telah
dinyatkan di dalam al-Quran dan Sunnah Rasul. Kecuali dalam ibadah yang aspek
sosialnya sangat menonjol (ibadah sosial), maka akal diberi kesempatan
memperluas bentuknya dengan jalan ijtihad.

Ketiga, akhlak. Akhlak adalah tingkah
laku manusia dalam kehidupan sehari-hari yang normanya ditetapkan dalam
al-Quran, Sunnah Rasul dan hati nurani manusia. Umat Islam dalam kehidupan
sehari-hari hendaklah mencontoh perjalanan hidup Rasul (QS. Al-Ahzab, 21).
Rasulullah diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia (Hadits)
.

Keempat, mua’amalah (kemasyarakatan). Aspek ini merupakan pengaturan hidup manusia di
atas bumi, misalnya bagaimana pengaturan tentang hubungan sesama manusia, harta
benda, perjanjian, ketatanegaraan, hubungan antar negara dan lain sebagainya.
Dalam mu’amalah ini pada umumnya al-Quran memberikan
pedoman-pesoman secara garis besar, Sunnah Rasul memberikan penjelasannya
.

Untuk selanjutnya,
menghadapi perkembangan kehidupan umat manusia, yang tidak pernah berhenti itu,
Islam memberikan kesempatan kepada akal dan pikiran manusia untuk melakukan
ijtihad berdasarkan kepada semangat atau jiwa al-Quran dan Sunnah Rasul. Semoga
kita digolongkan sebagai umat yang kembali kepada fitrah dan banyak menebarkan
salam kepada lingkungan sekitarnya. Amin.

Dengan
fitrah yang inheren dalam dirinya, manusia memiliki potensi kreatif untuk
mendorong diri dan jiwanya secara proporsional pada sesuatu yang mutlak
(beriman pada Allah) tanpa batas melalui jalan yang benar dan lurus (al-shirat
al-mustaqim
). Itulah jalan Islam yang luas tanpa batas yang inheren dengan
jiwa kemanusiaan.

Dengan
demikian, siapa pun yang berusaha mengajak, menyerukan, atau memobilisasi
manusia ke dalam satu keyakinan agama pada hakikatnya ia telah memisahkan atau
mengeluarkan agama tersebut dari jiwa manusia. Artinya, karena agama
dipersepsikan berada di luar jiwa manusia maka otomatis akan melahirkan
upaya-upaya memasukkan manusia ke dalam agama tersebut. Di sinilah terjadi
upaya pereduksian kemanusiaan dengan mengatasnamakan agama.

Idealnya,
setiap manusia menyadari hakikat fitrah kemanusiaannya, tapi dalam realitasnya,
lebih banyak manusia tersesat dan mengotori fitrahnya. Karena itulah Allah
mengutus para Nabi untuk mengembalikan kesadaran manusia.

Karena
misi para Nabi adalah penyadaran, maka dalam perspektif Islam, firman Allah
yang pertama kali diwahyukan pada Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca,
membaca, dan membaca (iqra’, iqra’, iqra’). Dalam membaca ada proses
penyadaran, yakni proses transformasi dan reorientasi pada satu titik kekhalifahan
(fitrah) tanpa sedikitpun unsur keterpaksaan atau dipaksakan.

Karena
itu pula, bahkan Muhammad SAW pun tak diberi mandat ataupun kewenangan untuk
memaksakan orang kafir pada masanya untuk kembali pada fitrahnya sebagai
manusia yang beriman kepada Allah. Ketiadaan mandat ini ditegaskan melalui
firman-Nya:

“Dan
jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka
bumi. Maka apakah kamu (Muhammad) hendak 
memaksa manusia supaya  mereka
menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. 10:99).


Rasyid
Ridha, dalam tafsirnya Al-Manar, menyebutkan: “bahwa kalimat ‘jikalau
Tuhanmu menghendaki’ artinya adalah Nabi Muhammad sendirilah yang benar-benar
menghendaki keimanan kaumnya, yang merasa bersedih hati melihat penolakan
umatnya terhadap seruan dan petunjuknya. Adapun kalimat ‘tentulah beriman semua
orang yang ada di muka bumi’ artinya Nabi Muhammad pulalah yang menghendaki
semua umatnya beriman kepada Allah sesuai dengan fitrahnya.”

Kontributor

  • Nasruddin

    Pengurus Masjid Al-Barkah, Cakung, Jakarta Timur