Jika kita membaca I’anah ath-Thalibin karya Sayyid Abu Bakar Syatha, maka kita akan menemukan penjelasan panjang tentang subbab walimah, melebihi sub-subbab lainnya.
Dalam subbab walimah, Sayyid Abu Bakar Syatha mengutip perkataan para ulama tentang keutamaan mengadakan dan menghadiri acara Maulid. Beliau berharap agar kita memperhatikan betul kebaikan yang terkandung dalam acara Maulid Nabi saw. dan supaya dapat kita teladani.
Di antara yang dinukil dalam kitab yang menjelaskan kitab Fath al-Mu‘in ini adalah perkataan Imam Abu Syamah, Guru Imam Nawawi. Beliau berkata, “Perayaan yang dilakukan oleh masyarakat Muslim setiap tahun pada hari kelahiran Baginda Nabi saw. dengan berbagi kebahagiaan dan kebaikan pada yang lain karena senang, bahagia dan bersyukur atas kelahiran beliau merupakan amal bid’ah yang baik yang kita lakukan di zaman kita.”
Dinukil juga dari Imam Sakhawi, “Perayaan Maulid marak dilakukan oleh masyarakat Muslim di penjuru negeri setelah abad ketiga Hijriyah. Mereka bersedekah di malam Maulid dengan berbagai bentuk sedekah, membaca sejarah kelahiran Nabi dan menampilkan bagaimana kedudukan dan kemuliaan beliau untuk segenap makhluk.”
Keutamaan mengadakan Maulid dikatakan juga oleh Ibnu Jauzi, “Maulid dapat membuat kedamaian dalam tahun tersebut. Ia juga (tanda) kabar gembira akan tercapainya sebuah tujuan dan cita-cita”.
Awal kali pertama seorang penguasa mengadakan Maulid secara besar-besaran adalah Raja Abu Said al-Mudhaffar, penguasa tanah Arbil (Irak). Kala itu dia membuat majelis Maulid dengan membaca kitab at-Tanwîr fi Maulid al-Basyîr al-Nadzîr yang disusun oleh Syekh Ibnu Dahiyyah. Saking senangnya atas kitab itu, sang raja menghadiahi penyusunnya seribu Dinar.
Cucu Ibnu Jauzi menceritakan dalam kitab Mir’at al-Zamân, bahwa seorang yang hadir dalam perayaan Maulid Nabi saw. gelaran Raja Mudhaffar pernah menghitung ada 5.000 kepala kambing dihidangkan dalam majelis Maulid tersebut. Tidak hanya itu, 10.000 potong ayam, 100.000 zabadi (yogurt), dan 30.000 piring manisan juga tersaji, sembari ditemani dengan bau wewangian yang dihasilkan dari pembakaran bukhur (kayu harum). Tercatat sang raja menghabiskan 300.000 dinar untuk perayaan Maulid yang dihadiri oleh para ulama dan kaum sufi.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berdalih tentang keagungan dan keutamaan dengan Hadis Nabi saw. tentang bagaimana kaum Yahudi Madinah merayakan hari Asyura sebab memperingati peristiwa Nabi Musa dan umatnya diselamatkan Allah swt. dari kejaran Fir’aun. Sebab ini kemudian Baginda Nabi saw. berpuasa Asyura karena kaum muslimin lebih berhak memperingati peristiwa itu daripapa mereka.
Beliau juga berpegangan pada sebuah khabar dari Sayyiduna Abbas bin Abdul Muthalib (paman Nabi saw.) tentang bagaimana Abu Lahab, saudaranya, yang diberi keringanan di neraka setiap hari Senin sebab pernah bergembira merayakan kelahiran Baginda Nabi saw. dengan memerdekakan budaknya yang bernama Tsuwaybah kala memberitahukan kelahiran putra saudaranya Abdullah dengan selamat (Baginda Muhammad bin Abdullah).
Dari argumen di atas, Syeikh Syamsuddin Muhammad bin Nasir berkata: Jika seorang yang kafir dan bahkan nyata termaktub kecelekaannya dalam surat al-Lahab saja mendapatkan nikmat keringanan siksa sebab gembira dengan kelahiran (Maulid) Baginda Nabi saw., lantas kira-kira bagaimana nasib seorang muslim yang sepanjang hayatnya bergembira atas Maulid Nabi saw. lalu wafat dengan kalimat tauhid?!
Imam Hasan Basri seorang tabi’in bahkan pernah berkata, “Seandainya saya diberi rezeki setumpuk emas sebesar gunung Uhud, niscaya semuanya akan saya habiskan untuk pembacaan Maulid.”
Imam Junaid al-Baghdadi berkata, “Barangsiapa hadir dalam acara Maulid dan mengagungkan kedudukan Baginda Nabi saw., maka dia telah mendapatkan keimanan.”
Syeikh Ma’ruf al-Kurkhi berkata, “Barangsiapa mempersiapkan makanan untuk pembacaan Maulid, lalu mengajak teman-temannya, menyalakan lampu untuk majelis, memakai baju baru, memakai wangi-wangian dan berhias diri sebab mengagungkan kelahiran Baginda Nabi saw. maka Allah swt. akan mengumpulkannya di hari kiamat dengan kelompok pertama yang terdiri dari para nabi dan berada di tempat tertinggi.”
Beliau juga berkata, “Barangsiapa membacakan Maulid pada uang dinar atau dirhamnya kemudian uang yang telah dibacakan Maulid itu dicampur dengan uang lainnya, maka keberkahan akan turun pada uang-uang tersebut, si pemilik tidak akan kekurangan dan tangannya tidak akan sepi dari uang sebab berkah dari Maulid Nabi saw.”
Menguatkan apa yang disampaikan oleh Syeikh Ma’ruf al-Kurkhi, Imam Yafi’i Yaman juga berkata, “Barangsiapa mengundang teman-temannya, menyiapkan makanan, menyiapkan tempat dan berbagi kebaikan sebab meginginkan acara Maulid, maka kelak dia akan dikumpulkan dengan orang-orang saleh, jujur dan syuhada di surga an-Na’im.”
Syeikh Sari al-Saqati juga berkata, “Barangsiapa menuju ke sebuah majelis Maulid, maka sesungguhnya dia sedang menuju ke salah satu taman surga, sebab apa yang ia tuju tidak lain adalah sebab cinta Baginda Nabi saw., dan beliau saw. pernah bersabda:
من أحبني كان معي في الجنة
“Barangsiapa mencintaiku, maka ia bersamaku kelak di surga.”
Imam Suyuti dalam al-Wasâ’il fī Sharh Shamâ’il berkata, “Tidak ada suatu rumah, masjid, atau tempat yang di situ dibacakan Maulid kecuali dipenuhi para malaikat memadati tempat itu dan Allah swt. memenuhinya dengan rahmat serta para malaikat (Jibril, Mikail, Israfil, Qarbail, ‘Inail, al-Safun, al-Hafun dan Karabiyun) menyinari dengan cahaya. Para Malaikat itu bershalawat (berdoa memohonkan ampunan) pada siapa saja yang di situ sebab adanya bacaan Maulid.”
Imam Suyuti juga berkata, “Tiada seorang Muslim yang membaca Maulid di rumahnya kecuali Allah swt. telah menghilangkan padanya kekeringan, penyakit dan kebakaran, wabah, malapetaka, kebencian, keirian, kedengkian, dan pencuri dari rumah tersebut. Jika dia wafat maka Allah swt. akan memudahkannya menjawab pertanyaan Munkar Nakir, dan dia akan berada dalam kedudukan orang jujur di sisi Dzat yang sang Maha Kuasa.”