Allah Swt. berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 185:
يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَۖ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran”
Redaksi lengkap ayat tersebut berbicara tentang kemudahan yang Allah Swt. berikan bagi orang yang menjalankan puasa Ramadan. Di dalamnya disebutkan bahwa siapa pun yang sedang sakit atau berada dalam perjalanan diperbolehkan untuk tidak berpuasa, dengan syarat menggantinya di hari lain.
Meskipun ayat ini secara khusus menyebutkan keringanan bagi orang yang berpuasa, Imam Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir menjelaskan bahwa kemudahan tersebut berlaku untuk seluruh urusan agama. Dengan kata lain, dalam setiap perkara syariat Islam, Allah Swt. senantiasa menghadirkan kemudahan bagi manusia.
Allah Swt. Maha Mengetahui kondisi hamba-hamba-Nya. Dia lebih tahu daripada siapa pun bahwa kemampuan setiap manusia berbeda-beda. Karena itu, Ia menurunkan aturan-aturan yang sejalan dengan kapasitas dan batas kemampuan manusia tersebut.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Islam adalah agama yang mudah dijalankan. Jika seseorang merasa berat atau rumit dalam beribadah, hendaknya dia melakukan introspeksi: jangan-jangan ada amalan yang ditambah-tambahi atau dikurang-kurangi dari tuntunan aslinya.
Suatu ketika, tiga orang sahabat mendatangi istri-istri Rasulullah saw. Mereka ingin mengetahui secara langsung bagaimana Nabi beribadah. Karena istri-istri Nabi tinggal serumah dengan beliau, merekalah sumber yang paling tepat untuk ditanya.
Namun, hasil pengamatan mereka justru berbeda dari dugaan awal. Rasulullah saw, meskipun memiliki kedudukan spiritual yang tinggi, ternyata menjalankan ibadah dengan kadar yang tampak ‘biasa’ saja. Melihat hal itu, mereka menyimpulkan:
“Wajar bila Nabi saw ibadahnya seperti itu, beliau kan sudah dijamin ampunan Allah. Sementara kita? Justru harus memperbanyak ibadah. Siapa yang paling giat beribadah, dialah yang akan mendapat pahala paling besar.”
Akhirnya, mereka pun bertekad untuk meningkatkan ibadah melebihi kebiasaan. Ada yang berjanji akan salat sepanjang malam. Ada yang bertekad berpuasa setiap hari, dan ada pula yang berkomitmen untuk membujang selamanya, agar bisa sepenuhnya fokus beribadah.
Ketika kabar tentang niat mereka sampai kepada Rasulullah saw, beliau pun memberikan komentar:
“Demi Allah, aku adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Tetapi aku tidak selalu salat sepanjang malam, aku pun tidak berpuasa setiap hari, dan aku juga tetap menikahi wanita. Barang siapa tidak menyukai sunahku, maka dia bukanlah bagian dariku!”
Terkait hadis tersebut, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa ibadah yang dilakukan secara berlebihan justru dapat menimbulkan rasa bosan. Ketika kebosanan datang, semangat untuk beribadah pun menurun. Sebaliknya, jika ibadah dilakukan secara moderat—tidak malas-malasan tetapi juga tidak berlebihan—maka hasilnya adalah ibadah yang bisa dijalankan secara konsisten.
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya agama ini mudah. Tidaklah seseorang memberat-beratkan diri dalam agama melainkan dia akan dikalahkan (tidak mampu). Maka bersikaplah lurus, mendekatlah (kepada kebenaran), dan bergembiralah. Serta mintalah pertolongan (untuk istiqamah) dengan beribadah di waktu pagi, di waktu sore, dan sebagian waktu malam.”
Hadis tersebut, menurut Ibnu Hajar, menunjukkan bahwa ajaran Islam lebih mudah dibandingkan agama-agama sebelumnya. Allah Swt. telah meringankan beban syariat yang dahulu dipikul oleh umat terdahulu. Al Hafidz Ibnu Hajar mencontohkan, ada umat sebelumnya yang ketika ingin bertaubat, caranya adalah dengan membunuh diri mereka sendiri. Sedangkan taubat dalam Islam jauh lebih ringan: cukup dengan meninggalkan perbuatan dosa yang telah dilakukan, menyesalinya, serta bertekad kuat untuk tidak mengulanginya lagi.
Konsekuensi logis dari adanya kemudahan adalah tiadanya kesempitan atau kesulitan. Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Usamah bin Syuraik:
خرجت مع النبي صلى الله عليه وسلم حاجاً، فكان الناس يأتونه، فمن قائل: يا رسول الله سعيت قبل أن أطوف، أو قدمت شيئاً وأخرت شيئاً، فكان يقول : (لا حرج، لا حرج، إلا على رجل اقترض عرض رجل مسلم وهو ظالم، فذلك الذي حَرِجَ وهَلكَ)
“Aku (Usamah) pernah keluar bersama Nabi saw. untuk melaksanakan ibadah haji. Saat itu banyak orang datang menemui beliau. Di antara mereka ada yang berkata: ‘Wahai Rasulullah, saya telah melakukan sa’i sebelum thawaf, atau saya mendahulukan sesuatu dan mengakhirkan sesuatu.’ Maka beliau bersabda: ‘Tidak masalah, tidak masalah (tidak berdosa), kecuali bagi seorang yang mengambil kehormatan seorang muslim—dengan gibah atau yang lainnya—dialah orang yang zalim, dan dialah yang celaka.’”
Dari hadis ini dapat dipahami bahwa ketika seseorang karena suatu sebab tidak mampu menjalankan ibadah secara ideal, hal tersebut bukanlah perkara yang harus dipermasalahkan. Justru yang harus diwaspadai adalah perilaku yang merusak kehormatan sesama muslim, seperti gibah dan qadzaf. Gibah adalah membicarakan keburukan seseorang di belakangnya, sedangkan qadzaf adalah menuduh seseorang melakukan perbuatan keji tanpa bukti yang sah.
Menuduh orang lain kafir, atau menuduh seseorang melakukan maksiat tanpa landasan yang jelas, adalah bentuk qadzaf. Dua perilaku ini—gibah dan qadzaf—yang sejatinya harus dipersulit dan ditutup rapat celahnya agar tidak menyebar di tengah umat.
Maka dari itu, seorang muslim harus menyadari bahwa Islam pada hakikatnya adalah agama yang mudah, tetapi bukan untuk dimudah-mudahkan. Islam bukanlah ajaran yang melebihi batas kemampuan manusia, juga bukan beban yang menindih manusia. Sebaliknya, Islam hadir untuk memuliakan dan memanusiakan manusia.
Ditulis oleh Rusydan Abdul Hadi. Tulisan ini tayang pertama kali dalam Buletin Rumah Wasathiyah.















Please login to comment