Semakin menuju akhir zaman, ajaran Nabi bukannya menjadi kolot dan tertinggal tapi justru semakin relevan dan aktual untuk diaplikasikan oleh umat manusia yang hidup di zaman itu, terutama ajaran-ajarannya yang terlihat sepele menurut logika masyarakat umum.
Misalnya, menyoal tata cara makan dan minum, Nabi mencontohkan untuk makan setelah lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Memulainya dengan mengucapkan basmalah, mengambil makanan sedikit demi sedikit dengan tiga jari, mengunyahnya perlahan sekitar 40 kali, baru kemudian menelannya. Apakah ajarannya sesederhana itu? Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak.
Pada dasarnya, ajaran makan ala Rasulullah Saw tersebut tidak hanya menyoal “mengunyah 40 kali di setiap suapannya”, lebih jauh adalah soal menikmati ritme hidup, menikmati setiap rasa dari komponen yang ada di setiap gigitan makanan itu. Proses makan dan minum tidak didasari semata-mata karena nafsu dan kebutuhan gizi, lebih jauh adalah sebagai aktualisasi dari praktek spiritualitas yang tinggi.
Artinya, proses tersebut adalah cara untuk mencapai kesadaran spiritual dengan mencoba memaknai rasa syukur secara mendalam atas nikmat Tuhan yang dianugerahkan lewat makanan itu ke dalam tubuh. Coba perhatikan isi hadist berikut ini:
Dari Anas bin Malik Ra, Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt sangat ridha kepada hamba yang makan satu suapan, kemudian ia memuji Allah Swt. Atau ketika ada seorang hamba yang minum, lalu ia memuji Allah Swt atas minuman itu.”
Hadist ini mengisyaratkan bahwa dalam ritual makan/minum, karena berhubungan dengan meningkatkan kesadaran, maka perlu dilakukan dengan ritme gigitan dan kunyahan yang selambat mungkin. Satu suapan makan: bersyukur. Satu tegukan minum: bersyukur. Bersyukur adalah memahami kenikmatan-kenikmatan untuk mencapai ridha Tuhan. Pada ritual makan, ada semacam keutuhan kesadaran sebagai hamba Tuhan ketika melakukan prosesi itu (Mindflow Awareness).
Jadi, substansinya adalah: “memperhatikan apa yang terjadi ketika sesuatu itu terjadi, dengan segenap keutuhan kesadaran kita yang meliputi jasad, pikiran dan hati”.
Kemampuan dalam memperhatikan kondisi sekitar dengan keutuhan diri sebagai manusia sangatlah penting di masa sekarang. Kenapa? Di dalam tatanan dunia yang serba instan ini kita telah dan selalu dituntut untuk hidup serba cepat; tumbuh dengan cepat, belajar dengan cepat, bekerja dan meniti karier dengan cepat, kaya dengan cepat, menikah dengan cepat, mendidik anak dengan cepat, bersilaturahim dengan orang tua dengan cepat, dst. Sampai-sampai ada yang mengganggap bahwa sikap melambat adalah sebuah kemunduran, atau kekalahan, atau dianggap sebuah kemalasan.
Jika kita kembali kepada kesadaran kita sebagai manusia, yang tidak hanya terdiri dari sisi fisik tapi juga jiwa dan ruh, kita akan memahami bahwa kesuksesan dan kebahagiaan hakiki tidak selalu harus dan bisa dilakukan dengan kecepatan dalam menjalani ritme-ritme hidup. Pemaknaan diri justru terdapat pada ritme hidup yang melambat secara waktu sebenarnya maupun secara waktu psikologis yang kita miliki. Dengan kata lain, untuk mendapatkan detail warna hidup dan pemaknaannya, kita perlu untuk melambat, kita perlu jeda yang cukup, minimalnya kita perlu memperhatikan detil-detil setiap pola nafas kita sendiri.
Ketika diajukan sebuah pertanyaan, “kemanakah perginya waktu kita?”
Jika dalam sehari ada 3 aktifitas yang menonjol dalam diri kita maka akan sangat banyak hal-hal baik dalam sebulan yang bisa kita dapatkan. Tapi persoalannya, kita tidak merasakan hal itu, kita justru merasa tidak mendapatkan bobot apa-apa yang sifatnya prinsipil seiring waktu yang berjalan itu. Kenapa? Karena kita tidak melakukan hal-hal baru, yang berarti hanya ada rutinitas dan kebosanan di setiap hembusan nafas kita. Hal ini menghindarkan kita dari merasakan “Pengalaman Pertama”. Itulah alasan kenapa masa kecil adalah masa yang paling menyenangkan dan penuh memori karena setiap detiknya bisa menjadi “Pengalaman Pertama” bagi diri kita. Jadi, benar kiranya ketika dikatakan bahwa “hari-hari bukanlah hari yang telah kita lalui, tetapi hari adalah apa yang kita ingat (peristiwa yang memorable)…”
Lebih parahnya lagi, di era yang didesain serba cepat dan instan ini akal kita telah dibajak sedemikian rupa sehingga kita tidak lagi bisa membedakan antara hal baru dengan hal yang lama. Semua ritme hidup cenderung menjadi “rutinitas”, padahal rutinitas itu sendiri bisa dikondisikan sebagai hal-hal baru di dalam imajinasi kita jika kita mampu untuk memaknainya. Hari ini berbeda dengan hari kemarin, dan berbeda pula dengan hari esok. Pada hakikatnya setiap detik nafas kita adalah sesuatu yang baru, tidak ada pengulangan wujud, tetapi kenapa kita merasa tidak ada pembaharuan dalam kompleksitas realitas yang berjalan itu?
Jawab: Ajaran-ajaran Nabi memberikan bantuan kepada kita untuk keluar dari pola zaman yang “tidak produktif” seperti itu agar menjadi pribadi-pribadi yang selalu fresh dalam memaknai diri sehingga mendapatkan kebahagiaan secara lahir dan batin. Meskipun beberapa di antara ajarannya terlihat sederhana, tapi sebetulnya mengandung sebuah konsep megah yang justru sangat dibutuhkan oleh semua orang di masa kini.
Selain yang terlihat dalam tata cara makan ala Nabi di atas, kita bisa memperluas polanya untuk memahami ajaran-ajaran sederhananya yang lain: cara berjalan, pola dan cara tidur, cara berhubungan dengan istri, cara mendidik anak, cara berinteraksi sosial, cara mengatur ritme kerja, ritme beribadah, ritme berdakwah, ritme membaca buku dan seterusnya…
Artinya, kalau kita tidak bisa menirunya dalam tata cara makan ala Nabi, kita bisa menirunya dalam hal lain, dalam tata cara pola tidur misalnya. Bukankah masyarakat modern mempunyai problem serius dengan pola tidur mereka?
Bisa jadi aktifitas tidur telah dianggap sebagai aktifitas rutin yang biasa-biasa saja. Menurut ajaran Islam, aktifitas tidur adalah bagian dari ayat-ayat Allah Swt yang patut untuk direnungkan secara perlahan, bahkan lebih jauh tidur merupakan salah satu aktifitas untuk mendekatkan diri kepada manifestasi kenabian. Rasulullah Saw bersabda:
“Jika zaman semakin mendekat, mimpi seorang mukmin nyaris tidak bohong, dan mimpi seorang mukmin adalah satu bagian dari empat puluh bagian kenabian, dan apa yang berasal dari kenabian tentu tidaklah bohong.”
Hadist tersebut menunjukkan betapa sakralnya aktivitas tidur itu sebenarnya dalam tradisi agama Islam. Ketika kita tidak bisa tidur, kita tidak memungkinkan untuk mendapatkan pengalaman spiritual nan sakral itu, padahal kita di masa fitnah seperti sekarang sangat membutuhkan mimpi yang sempurna, mimpi yang benar, mimpi yang berasal dari ilham Tuhan. Jadi, mulai tidurlah dengan nyenyak kawan, dengan penuh rasa syukur, dengan penuh pemaknaan diri. Syariat Islam memang didatangkan agar hidup umat manusia lebih bermakna dan bahagia.
Please login to comment