Saya mencermati, setidaknya dalam rentang dasawarsa terakhir ini, mengenai peran institusi al-Azhar yang semakin gencar menyeleksi dan meninjau ulang berbagai macam penafsiran, hukum, istilah-istilah dan hal-hal yang didoktrinkan kepada khalayak umum sebagai syariat yang baku atau pemahaman yang dipersepsikan sebagai hal yang sahih. Dan, bahkan terkadang sampai disetarakan dengan wahyu Tuhan itu sendiri.
Rupa-rupanya pelabelan “Syariat” (dengan S besar) tersebut, setelah ditinjau ulang, tak ubahnya ijtihad ulama yang menerima perubahan seiring berjalannya waktu dan perbedaan kondisi, atau bahkan ternyata adalah pemahaman menyimpang yang digulirkan oleh oknum berkedok “otoritas ke-ulamaan” tertentu untuk kepentingan oportunis dan materialistik yang sangat sempit.
Atas dasar adanya fakta tersebut, maka tidak heran ketika tema “ad-dakhil fi tafsir” banyak sekali menghiasi proyek tesis maupun disertasi yang diinisiasi, misalnya, oleh Fakultas Tafsir dan Ilmu-ilmu al-Quran di Universitas al-Azhar.
Ad-dakhil fi tafsir adalah satu disiplin ilmu tafsir yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana sebuah penafsiran atas al-Quran itu otentik dan ilmiah, dengan memilah dan mengkritisi anasir-anasir liyan yang ada di dalam kitab-kitab tafsir itu sendiri, seperti memilah antara penafsiran yang dikatagorikan dzanni dan yang qath’i, antara yang dalilnya sahih dan yang maudhu’, antara pemahaman yang asli dan yang palsu, antara penafsiran yang ilmiah dan yang khurafat, antara yang bercorak bi ra’yi mahmud dan yang bi ra’yi madzmum, dst.
Proyek ini dilakukan untuk menjaga “kemurnian Islam” agar terus sesuai atau berkesesuaian dengan apa yang dibawa oleh Baginda Nabi Muhamad Saw dan generasi emas setelahnya, yakni dengan menjaga dan memilahnya dari timbunan-timbunan “tradisi luar” ataupun “opini pribadi” yang membuyarkan terang benderangnya ajaran Islam, bersifat mereduksi hujjahnya hingga yang sengaja menyesatkan Umat.
Baca juga: Imamah Al-Azhar dan Simbol Warna dalam Seni Islam
Selain pada Fakultas Tafsir, di fakultas lain di al-Azhar (Fakultas Hadist, Akidah & Filsafat, dan Dakwah) juga ada mapel skrining pemurnian seperti ini yang pokok pikirannya dipetakan dalam proyek “syubhat wa rudud“—meskipun pembahasannya tidak dijadikan pokok kajian yang berkelanjutan dalam penulisan tesis dan disertasi sebagaimana marak kita jumpai dalam proyek ad-dakhil fi tafsir pada Fakultas Tafsir.
Kemudian satu hal penting lagi yang perlu dicermati menyangkut pemurnian syariat, selain pembahasan ad-dakhil pada fakultas-fakultas tadi, yaitu rupa-rupa ijtihad masyayikh al-Azhar dalam meninjau kembali hukum-hukum fiqhiyah di era kontemporer ini, terutama yang berhubungan dengan ahwal syakhsiah (hukum keluarga), kerukunan umat beragama, kenegaraan dan hubungan internasional.
Pada hukum fikih, titik tolak pemurnian dan refleksinya juga berangkat dari pengandaian yang relatif sama, yaitu dengan menjawab: di antara hukum fikih yang jumlahnya jutaan itu, manakah yang dakhil dan mana yang asal? Mana yang harus diperbaharui (bersifat ijtihadi) dan mana yang harus dipertahankan (bersifat muqaddas)? Mana yang yang harus dimunculkan secara dominan (primer) dan mana yang harus dijadikan pelengkap saja (sekunder)? Mana yang termasuk pilar-pilar agama dan mana yang bukan? Dan seterusnya.
Peran al-Azhar dalam ranah pemurnian dan refleksi hukum fikih ini, sebagai contohnya, seperti perannya dalam mencabut stigma tendensius yang diarahkan kepada perempuan, pengebirian atas peran positifnya baik dalam lingkup keluarga, agama maupun urusan kenegaraan. Dengan mencabut istilah “بيت الطاعة” dalam urusan rumah tangga, misalnya.
Kemudian contoh lain, mengkritisi dan menelaah kembali penggunaan istilah “الأقليات” seperti yang ditegaskan sendiri oleh Grand Syaikh Ahmed at-Tayeb dalam muktamar Darul Ifta Mesir tentang Tajdid pada tahun 2016; menolak istilah “أهل الذمة” atau pembagian atomistik antara hak “muslim” dan “non muslim” dalam lingkup kewarganegaraan yang sama; menandatangani dokumen suci bersejarah tentang persaudaraan Umat Manusia “وثيقة الأخوة الإنسانية” dengan pemimpin Gereja Katolik Paus Fransiskus; menolak dengan keras penggunaan redaksi “الإرهاب الإسلامي” dan mengkategorikannya sebagai tindakan kriminal; dan proyek baru-baru ini Imam Besar al-Azhar Syaikh Ahmed Al-Tayeb bersama para tokoh agama menandatangani dokumen seruan bersama dalam pertemuan di Vatikan pada Senin (4/10) dengan tajuk “Iman dan Sains: Menuju Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (COP26)”.
Baca juga: Wasathiyah, Kunci Al-Azhar Bertahan Ribuan Tahun
Singkat kata, apa yang disasar oleh al-Azhar dalam proses “pemurnian syariat”—entah pemurnian ini dimaknai sebagai proyek mengaktualisasikan kembali Syariat yang sudah lama tertimbun, merevitalisasinya dari anasir-anasir liyan, atau mengkritisi pemahaman yang salah—pada intinya proyeknya tidak hanya dalam taraf pinggiran dan cabangnya saja, lebih jauh yaitu dalam taraf isi dan ruh Syariat itu sendiri yang mencakup sisi ontologis (kesadaran), epistemologis (penalaran) dan aksiologisnya (realitas empirik) sekaligus. Rumusan hukum yang lengkap. Jadi, aktualisasinya bukan hanya sekedar jargon-jargon kosong yang miskin orientasi sosial atau berupa proyek formalitas tanpa visi-misi eksistensial yang jelas.
Kemudian, karena sifatnya yang berusaha memurnikan itu, maka diperlukan pola pikir yang moderat—sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri. Tujuannya tak lain agar menghasilkan keputusan yang benar-benar otentik, adil dan berorientasi pada kemaslahatan umum sebagaimana tujuan dari syariat itu sendiri sedari dulu. Dengan demikian, hasilnya tidaklah berupa keputusan yang saklek, rigid dan sewenang-wenang, atau malah bertentangan dengan hati nurani dan akal sehat manusia.
Merunut sejarahnya, proses memurnikan agama merupakan proyek yang sangat membahayakan bagi kehidupan bermasyarakat dan bagi eksistensi agama itu sendiri ketika didalangi oleh institusi resmi keagamaan yang tidak moderat. Al-Azhar secara terbuka dan konsisten telah memproklamirkan diri sejak ratusan tahun yang lalu sebagai lembaga resmi yang menjunjung tinggi pola pikir moderat, yang kredibilitasnya diakui tidak hanya oleh kalangan agamawan lintas agama tetapi juga para pakar akademik, institusi pemerintahan dan dunia.
Sebagai bukti atas moderatisme dan kredibilitasnya dalam bidang keagamaan, para akademisi bisa meninjau hasil keputusan resmi yang dikeluarkan oleh al-Azhar, bisa dicermati sendiri, dan kalau perlu dibandingkan dengan hasil keputusan-keputusan lain yang juga mempunyai proyek “memurnikan agama” yang identik, seperti mazhab Wahabi dan Khawarij, misalnya.
Setelah ditelaah secara komparatif, nanti pasti ketahuan mana yang rumusannya paling lengkap, ilmiah, berhujjah kuat dan sesuai dengan fitrah kemanusiaan, dan mana yang rumusannya lemah, cenderung bias, bersifat doktrinal dan bahkan merusak fitrah kemanusiaan.
Dan tentunya, sebagai catatan penting, pembandingan antar mazhab tersebut bukanlah didasarkan atas pengandaian untuk menceraiberaikan antara sesama umat Islam sendiri, tetapi proses itu harus dipahami secara kolektif sebagai wujud dinamisasi dan kerahmatan Islam, di mana setiap pemeluknya dimotivasi agar memaksimalkan segenap potensi dirinya untuk terus menerus berproses menuju dan mencari keridhaan Allah Swt sampai akhir hayat.