Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Kecerdasan Spiritual dan Makrifat Tuhan

Avatar photo
468
×

Kecerdasan Spiritual dan Makrifat Tuhan

Share this article
Islam sesungguhnya memandang manusia secara integral. Manusia adalah keutuhan dirinya.
Islam sesungguhnya memandang manusia secara integral. Manusia adalah keutuhan dirinya.

Filsafat skolastik beserta pengikutnya telah membagi-bagi potensi manusia ke dalam fakultas-fakultas. Pembagian ini tak ayal telah menyumbangkan kemajuan yang signifikan dalam ilmu pengetahuan. Tetapi filsafat skolastik telah salah dalam menempatkan manusia di antara dunianya. Benar bahwa manusia diberkati berbagai kemampuan, tetapi bukankah seharusnya pandangan yang lebih integral dan organis terhadap manusia dapat dicapai?

Kesalahan filsafat skolastik kemudian dijadikan dasar bagi filsafat dan pemikiran Islam. Alhasil, para pemikir kita memandang manusia hanya dari dimensi tertentunya saja, semisal dimensi rasio vis-a-vis dimensi intuisi. Akhirnya terbelahlah kelompok rasionalis dan kelompok mistis. Kedua kelompok ini saling menyalahkan. Kaum rasionalis menuduh kaum mistis sebagai penyebab dari kemunduran umat, sementara kaum mistis menuduh kaum rasionalis telah melenceng dari ajaran agama yang benar.

Terlepas dari pedebatan dua kelompok di atas, Islam sesungguhnya memandang manusia secara integral. Manusia adalah keutuhan dirinya. Tak ada pemisahan terhadap fakultas-fakultas yang menjadikan semuanya seolah terpisah dan saling serang. Semua yang ada pada diri manusia bekerja secara organis membentuk surah Tuhan.

“Tuhan telah menciptakan Adam (manusia) sesuai dengan surah-Nya.” Demikian bunyi hadis yang masyhur itu. Alam semesta diciptakan oleh Tuhan agar manusia/ciptaan mengenal-Nya. Sudah disinggung di atas bahwa manusia mungkin saja memiliki pengetahuan tentang sifat dan tindakan Tuhan. Dan sudah disinggung pula bahwa hakikat Tuhan tak terjangkau manusia dengan perangkat apa pun. Maka dari itu, Tuhan menciptakan tiga kitab sekaligus agar Dia bisa dikenal dan diketahui:

  1. Kitab yang tertulis (kitab suci)
  2. Kitab yang dilihat/dipikirkan (alam semesta)
  3. Kitab yang ditakdirkan (manusia)

Beberapa hal mengenai Tuhan hanya dapat diketahui melalui kitab yang pertama, yaitu nama-nama indah Tuhan (al-asma’ al-husna). Tanpa kitab yang pertama, mustahil manusia dapat memikirkan bahwa, misalnya, Tuhan itu Maha Mengawasi—hal yang tak bisa dipikirkan oleh tradisi filsafat skolastik semisal Aristotelian.

Beberapa hal lain tentang Tuhan bisa diketahui melalui kitab yang kedua, semisal sifat keesaan Tuhan. Jika tuhan ada banyak, maka kehendak dan tindakannya ada banyak. Tetapi nyatanya alam semesta sebagai ejawantah dan kehendak dan tindakan tuhan itu tunggal, maka bisa dipastikan yang menciptakan juga tunggal.

Beberapa hal dari sifat dan nama Tuhan dapat benar-benar terpahami melalui kitab yang ketiga. Sifat Tuhan seperti Maha Melihat, Maha Mendengar, dan Maha Mengetahui, bisa menjadi acuan. Tonggaknya adalah sifat kamal (kesempurnaan), yakni sifat yang ketika dinafikan dari Tuhan, maka Tuhan menjadi bukan Tuhan karena Dia tidak sempurna. Manusia dikatakan sempurna jika bisa mendengar, melihat, dan mengetahui. Jika ketiganya absen dari manusia, berarti ada yang kurang darinya. Manusia saja sempurna jika memiliki ketiga hal tersebut, bagaimana mungkin Tuhan tidak memiliki kesempurnaan itu?

Maka dari itu hadis ‘barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya’ terpahami justru karena adanya beberapa kesamaan antara sifat Tuhan dan sifat manusia.

Nalar tasybih (penyerupaan) adalah tonggak dari keintiman Tuhan dengan manusia. Tanpa nalar ini, mustahil manusia bisa mengenal tuhannya. Tuhan itu Maha Mendengar. Apa saja yang dikatakan manusia Tuhan mendengarnya. Termasuk di dalamnya senandung kerinduan dan aduan. Manusia yang memiliki kebaikan dalam dirinya adalah manusia yang memiliki kepedulian terhadap sesama. Dan Tuhan itu Maha Baik, maka tak mungkin Tuhan mengabaikan ciptaan-Nya ketika ciptaan itu mengadu kepada-Nya. Dari sinilah kecerdasan spiritual menemukan hakikatnya. Kita dapat mencintai Tuhan karena kita mengenal-Nya, bahwa Dia memang pantas dicintai di atas apa pun dan siapa pun. Tanpa adanya afeksi berupa cinta dalam diri manusia, mustahil manusia bisa mengenal cinta Tuhan kepada ciptaan-Nya.

Tetapi nalar tasybih saja tidaklah cukup. Kita juga perlu mendialektikakannya dengan nalar tanzih (penyucian). Bagaimanapun kaidah dalam ayat al-Quran tetap berlaku, bahwa tak ada yang serupa dengan Tuhan. Meskipun manusia memiliki keserupaan dengan Tuhan dalam beberapa sifat, namun keserupaan tersebut hanyalah bagian kecilnya—atau kalau boleh disebut ‘hanya sisi nominal’ saja. Kita tidak mungkin menyamakan sifat mengetahui pada Tuhan dan manusia dari segala sisi.

Kita ambil satu contoh. Manusia dan Tuhan sama-sama memliki sifat mengetahui. Tetapi tentu saja jenis, objek, sumber, hasil, koneksi, dan dampak dari kedua pengetahuan itu amat berbeda. Perbedaan tersebut kembali kepada sifat dasar manusia sebagai makhluk profan yang dilahirkan dan kemudian mati. Kelahiran menandai kekosongan, kesucian. Manusia dilahirkan tanpa pengetahuan apa pun, tabula rasa, kosong seperti kertas putih. Kemudian kertas itu diisi dengan pengetahuan yang dicerap dari pengalaman. Pengalaman yang paling pertama didayagunakan adalah pengalaman indrawi. Pengalanan ini menghasilkan pengetahuan yang bersifat partikular, kemudian akalbudi mengambil alih pengetahuan ini dalam wujud konsep universal. Dari konsep-konsep universal, manusia bisa menggali pengetahuan derivatif yang disimpulkan dari premis-premis yang ia bangun. Singkatnya, dari segi sumber, pengetahuan manusia itu pengetahuan yang diusahakan.

Tuhan adalah Entitas yang tidak tersusun, sederhana. Dia adalah as-shamad, yang pejal, yang tak punya lubang sehingga dengannya Dia menjadi kurang. Dia tidak bergantung kepada apa pun, bahkan justru segala sesuatu bergantung pada-Nya. Maka ilmu Tuhan tidaklah mungkin diusahakan, karena jika demikian, berarti sebelum Tuhan mengetahui sesuatu, Dia tidak mengetahui lalu kemudian mengetahui. Mustahil Tuhan ‘pernah’ memiliki sifat jahl (bodoh) karena itu merupakan sifat kekurangan, dan Tuhan semestinya dan memang selayaknya memiliki sifat kesempurnaan.

Mengenai koneksi, ilmu manusia itu berkoneksi dengan suatu objek mungkin, bukan mustahil. Manusia tak mungkin bisa mengetahui kemustahilan. Pikiran manusia tidak bisa memproses kontradiksi antara dua hal, seperti kontradiksi antara keberadaan sesuatu yang diam sekaligus bergerak di waktu yang sama. Itulah sebabnya, prinsip non-kontradiksi menjadi prinsip utama dalam logika (disebut juga metalogika). Sementara itu, dalam arkeologi Ilmu Kalam, disebutkan bahwa ilmu Tuhan berkoneksi dengan perkara yang niscaya, mungkin, dan mustahil. Semuanya dalam ilmu Tuhan, dan tak ada sesuatu apa pun yang tidak diketahui oleh-Nya.

Dalam Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Muhammad Iqbal menyatakan bahwa pengetahuan manusia tidaklah menciptakan sesuatu, tetapi pengetahuan itu diciptakan atau dihasilkan oleh sesuatu. Jika sesuatu itu tidak, belum, atau bahkan tidak akan ada, maka pengetahuan manusia tidak bisa menjangkaunya. Sementara itu, ilmu Tuhan justru menciptakan segala sesuatu. Dinyatakan oleh Ibn Rusyd dalam Tahafut-nya, bahwa ilmu Allah adalah sebab adanya wujud (‘ilmullahi sabab al-wujud). Segala wujud yang ada di alam semesta dapat tercipta karena ilmunya Allah. Dengan sifat ilmunya, Allah menciptakan wujud yang mana dalam konteks modalitas semua wujud pasti adalah wujud yang mungkin, bukan yang niscaya maupun yang mustahil. Penciptaan berhubungan dengan sifat qudrah (kuasa) dan iradah (kehendak), yang mana keduanya tidak berkoneksi kecuali dengan segala sesuatu yang mungkin.

Dari sisi kualitas dan kuantitas, ilmu manusia tak sebanding dengan ilmu Tuhan. Ketika manusia mengetahui sesuatu, pengetahuannya tak akan menyeluruh sampai ke ceruk-ceruknya. Terdapat banyak sekali ketidak-tahuan dari pengetahuan akan sesuatu, bahkan sesuatu yang bisa kita persepsikan dan amat dekat dengan kita. Ilmu paleontologi, misalnya, tak bisa menghitung secara persis umur suatu bebatuan. Ilmu ini, sampai sekarang, hanya bisa memperkirakan umur bebatuan. Soal asal muasal batu tersebut bahkan masih sekadar hipotesis. Itu dari segi kualitas. Dari segi kuantitas tak jauh berbeda. Berapa banyak hal yang sampai sekarang masih belum diketahui manusia? Amat banyak. Tuhan tahu jumlah pepohonan yang ada di seluruh dunia, sementara manusia tak sanggup dan tak punya alat untuk menghitungnya. Apa yang ada di lubang hitam tak terjangkau oleh observasi maupun pikiran manusia, karena di sanalah seluruh hukum fisika mentah. Bagaimana mungkin manusia mengetahui sesuatu yang mana hukum konvensional tak berlaku? Maka dalam al-Quran, Tuhan dengan tegas berkata: “Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya sekalipun seberat zarah baik yang di langit maupun yang di bumi, yang lebih kecil dari itu maupun yang lebih besar, semuanya (tertulis) dalam Kitab yang jelas (Lauh Mahfudz).”

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Tuhan adalah super inteligensia, suatu kecerdasan super yang tak tertandingi. Sebagian kecil kecerdasan Tuhan itu dititipkan kepada manusia karena hanya manusia satu-satunya makhluk yang paling bisa menerima manifestasi (tajalli) Tuhan. Dan ketika Tuhan sudah memanifestasikan diri-Nya dalam diri manusia, maka Tuhan akan menjadi kekasih manusia tersebut. Dan jika Tuhan menjadi kekasih seseorang, maka Dia akan menjadi pendengaran yang mana dengannya orang tersebut mendengar, menjadi penglihatan yang mana dengannya orang tersebut melihat, menjadi tangan yang mana dengannya orang tersebut menggenggam, menjadi kaki yang mana dengannya orang tersebut melangkah. Tuhan akan manunggal dengan makhluk pilihannya, tetapi tidak seperti manunggalnya gula dengan air, namun seperti manunggalnya minyak dengan air, menyatu tapi tak bersatu. Kemanunggalan itu menyiratkan dan mengisyaratkan suatu paradoks. Paradoks antara sifat transenden dan imanen, yang mana umumnya konsep pertama dialamatkan kepada Tuhan dan konsep kedua dialamatkan kepada manusia. Kedua konsep tersebut, dalam literatur Islam, disebut tanzih dan tasybih. Hal ini ditegaskan oleh Ibn ‘Arabi dalam salah satu puisinya:

“Jika kau berkata tanzih, kau mengikat-Nya. Jika kau hanya berkata tasybih, kau membatasi-Nya.

Jika kau mengatakan keduanya, maka kau benar dan kau adalah pemimpin dalam pengetahuan-pengetahuan.

Barangsiapa menyatakan dualitas Tuhan dan alam, maka ia musyrik. Dan barangsiapa menyatakan diferensitas Tuhan dan alam, maka kau adalah ahli tauhid.

Berhati-hatilah terhadap tasybih jika kau mengakui dualitas, dan berhati-hatilah dengan tanzih jika kau mengakui diferensitas.

Kau bukanlah Dia, tetapi kau adalah Dia dan kau melihat-Nya dalam entitas segala sesuau, baik yang tidak terbatas maupun yang terbatas.”

Memadukan antara konsep tasybih dan tanzih memanglah suatu paradoks, namun itulah cara yang paling tepat, menurut saya, untuk membicarakan Tuhan. Tasybih dan tanzih harus didialektikakan agara manusia dapat mengenali Tuhannya dengan baik. Apakah tidak ada cara lain? Jawabannya: tidak! Mengatakan tanzih sama sekali, akan membawa kita ke pemahaman yang terlalu konseptual tentang Tuhan, sebagaimana pemahaman filsafat skolastik. Tuhan dianggap terlalu suci untuk mengurusi alam semesta, apalagi mengurusi makhluk bernama manusia. Sehingga dengan begitu, Tuhan tak bisa dihayati. Tuhan tak bisa menjadi kekasih yang bisa dicintai karena Dia terlalu jauh dari afeksi dan jiwa manusia.

Jika kita hanya mengatakan tasybih, maka kita telah menyekutukan Tuhan dengan makhluk yang profan. Tuhan itu Maha Suci dari keprofaman makhluk, karena Dia tidak serupa dengan segala sesuatu dan Dia tidak bergantung kepada apa pun. Batas antara tasybih dan tanzih adalah batas penghayatan dan pemikiran. Dengan tasybih, manusia menghayati Tuhannya, dan dengan tanzih, manusia memikirkan konsep Tuhannya sesuai dengan akal sehat mereka. Bukan dalam rangka memikirkan hakikat Tuhan, melainkan dalam rangka mengajarkan tauhid yang ceruknya adalah pemahaman yang benar atas siapa yang dituhankan dan disembah.

Sejatinya, setiap pergerakan di dunia ini, muaranya berasal dari entitas spiritual. Iqbal menyitirnya dalam Rekonstruksi. Dan memang benar, segala sesuatu yang bergerak di dunia ini bermuara kepada sesuatu yang non-matetial, spritual, ruhiah. Bahkan pergerakan falak yang tak mungkin terjadi tanpa adanya gravitasi. Gravitasi itu tak berwujud fisik, ia bisa diketahui melalui antesedennya, yaitu pergerakan itu sendiri. Dan karena falak tak memiliki kehendak bebas, maka pergerakannya bisa diukur dan perkirakan. Tak ada yang mengganggu pergerakan itu kecuali kekuatan ilahiah yang bakal menghancurkan dunia dalam arena kiamat, akhir zaman.

Manusialah sang agen yang memiliki kehendak bebas, karena ia berasal dari surah Tuhan. Berdasarkan pada hal tersebut, maka manusia dapat dikenai pembebanan dan pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya di dunia ini. Iqbal menyebut kehendak ini sebagai ego insani. Ego ini, sama dengan Ego Ilahi, bersifat tunggal dan unik. Keterhubungan antara manusia dengan Tuhannya boleh dikatakan atas dasar keserupaan antara kedua ego tersebut: sama-sama memiliki kehendak—hanya saja kehendak pada Ego Ilahi bersifat mutlak dan ego insani relatif.

Relativitas ego insani terjadi karena ia terpenjara dalam tubuh jasmani. Tak ayal inilah yang menjadikan manusia lupa akan jati dirinya di dunia ini. Tubuh jasmani menjadi penghalang bagi manusia untuk naik ke tingkatan spritual yang lebih tinggi, sehingga bisa mengenal Tuhannya dengan baik. Maka dari itu, kaum sufi menyatakan bahwa untuk mencapai makrifat Tuhan, tubuh harus dilatih dan ditempa dengan cara laku asketis: puasa untuk meredam nafsu, shalat untuk menautkan diri kepada Yang Maha Agung, dan seterusnya. Jadi, seorang rasionalis seperti Al-Ghazali yang akhirnya berlabuh ke dunia tasawuf, berpendapat bahwa tak ada cara lain untuk makrifat Tuhan selain melalui jalur laku sufistik yang bermacam-macam: mulai dari takhalli (pembersihan diri dari sifat tercela) sampai ke tahalli (pemnghiasan atas diri dengan sifat mulia). Setelah laku tersebut terlaksana dengan baik, maka tajalli Tuhan akan mendatanginya melalui makam-makam (tingkatan spritual), tergantung pada kesiapan diri untuk memantulkan tajalli tersebut.

Lain dari Al-Ghazali, Mulla Shadra tampaknya memiliki pandangan lain soal konsep makrifat sehubungan dengan badan dan jiwa. Ya, jiwa memang tidak bersifat material, tetapi yang material pun dapat memengaruhi yang imaterial. Untuk menjadi makhluk yang sempurna spiritualitasnya, manusia tidak harus menanggalkan alam materi. Keduanya, sebagaimana yang ditegaskan oleh filsuf Baqir As-Shadr ketika menjelaskan filsafat Mulla Shadra dalam Falsafatuna, “adalah dua tingkat eksistensi.” Tak ada garis pemisah antara meterialitas dan spiritualitas, karena “materi dalam gerak substansialnya itu mengejar penyempurnaan eksistensinya dan meneruskan penyempurnaannya, sampai ia bebas dari materialitasnya di bawah kondisi-kondisi spesifik dan menjadi maujud imaterial—yaitu, maujud spiritual.”

Kecenderungan Mulla Shadra dalam mengkonsep makrifat Tuhan sering disebut sebagai Tasawuf Akali (vis-a-vis Tasawuf Amali), dan filsafatnya dinamakan filsafat transendental yang mengambil inspirasi dari dua tokoh besar: Ibn ‘Arabi dan Suhrawardi.

Jika kita ingin mendamaikan antara dua kutub tasawuf di atas, agaknya jalur via paradoksa harus ditempuh. Tubuh material yang tak abadi dan jiwa imaterial yang abadi harus berdialektika untuk sampai kepada kebenaran tertinggi, yakni sintesis. Apa isi sintesis itu? Tubuh harus menjadi sarana untuk menghayati Tuhan karena konsep ihsan melibatkan unsur khayali, yang mana unsur ini tak akan tercapai dengan imaterialitas murni. Tingkatan ihsan tertinggi, seperti yang disebutkan dalam Hadis, adalah “beribadah kepada Allah ‘seolah-olah’ kamu melihat-Nya.” Ke-seolah-an adalah kerja imaji yang mendapat inspirasinya dari kebendaan dan alam material. Ketika kita mengimajinasikan Tuhan, kita tentu tak akan sanggup menggambarkan Tuhan apa adanya dalam jiwa. Batasnya tentu adalah kaidah yang berbunyi: “Apapun yang terlintas dibenakmu, Allah sama sekali bukan begitu.” Tapi tanpa unsur khayali, Tuhan sama sekali asing bagi manusia. Dia nyaris tak bisa didekati dengan afeksi manusia. Manusia hampir tak bisa membayangkan ‘kedekatan’ kecuali yang bersifat spasial. Kedekatan spiritual dapat dirasakan dengan sungguh jika manusia memiliki konsep kedekatan material. Makanya, tingkat ihsan kedua yang berada di bawah tingkatan di atas berbunyi demikian: “Dan jika kamu tak bisa, maka beribadahlah seolah-olah kamu dilihat oleh Allah.” Lagi-lagi ke-seolah-an dipakai. Kenapa? Karena tak mungkin manusia bisa membayangkan konsep ‘diawasi/dilihat’ kecuali melalui konsep material (misal melalui spionase).

Alhasil, paradokslah yang kita temui ketika kita mengenal dan membicarakan Tuhan. Dan paradoks senantiasa membingungkan, membuat pikiran tak nyaman. Lantaran pikiran tak nyaman, manusia mencari suaka ke potensi yang lain, yakni potensi spiritualitas yang ditempa melalui penyucian dan penyerupaan. Ya, benar, Tuhan adalah Entitas yang disucikan, namun di lain sisi Dia dapat menjadi tempat mengadu dan berkeluh-kesah. Akhirnya kita akan paham bahwa Allah tidak membutuhkan kita, tapi kitalah yang membutuhkan-Nya. Konsep cinta sebagai makam tertinggi seorang hamba dapat terpahami melalui konsep keterbutuhan kita akan objek yang dicintai, dan Tuhan lebih dari sekadar dibutuhkan untuk ‘kepentingan’ sesaat manusia, karena sejatinya tak ada manusia yang tidak membutuhkan Tuhan, sadar atau tidak sadar, baik sebelum manusia diciptakan maupun ketika akhirnya kembali kepada-Nya.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Kontributor

  • M.S. Arifin

    M.S. Arifin, lahir di Demak 25 Desember 1991. Seorang penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat. Bukunya yang sudah terbit: Sembilan Mimpi Sebelum Masehi (antologi puisi, Basabasi, 2019) dan Mutu Manikam Filsafat Iluminasi (terjemahan karya Suhrawardi, Circa, 2019). Bisa dihubungi lewat: ms.arifin12@gmail.com.