Tagar Kabur Aja Dulu ramai di media sosial X akhir-akhir ini. Tanda pagar ini menyuarakan keresahan anak-anak Indonesia dalam menyikapi sejumlah isu, mulai dari kondisi politik yang dianggap tidak berpihak kepada masyarakat hingga masalah biaya hidup yang tinggi dan sulitnya mencari lapangan pekerjaan.
#KaburAjaDulu mewakili keinginan anak-anak muda yang tertekan hidup di Indonesia untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Hal itu mereka wujudkan dengan meninggalkan Indonesia, pergi ke luar negeri, hingga mengganti kewarganegaraan.
Menurut data dari Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham (2023), sebanyak 3.912 Warga Negara Indonesia (WNI) memutuskan mengganti kewarganegaraan mereka menjadi warga negara Singapura selama periode 2019 hingga 2022. Sebagian besar mereka berada dalam usia produktif, yaitu 25-35 tahun.
Hukum Berganti Kewarganegaraan

Menurut Lembaga Fatwa Mesir, keputusan dalam masalah berpindah kewarganegaraan ini bergantung pada motivasi naturalisasi, dan pada kondisi sebenarnya dari negara tujuan. Terkadang tindakan ini bisa menjadi fardu ain, seperti ketika seseorang melarikan diri demi agamanya dan tidak ada tempat lain yang dapat menjamin keselamatannya selain negara tersebut.
“Bepergian kemudian menjadi warga negara di tempat tujuan bisa dilakukan untuk memperoleh sesuatu yang mubah, seperti mencari rezeki. Bahkan, bisa menjadi suatu hal yang dianjurkan atau fardu kifayah, misalnya untuk memperoleh ilmu yang sangat dibutuhkan oleh kaum Muslimin,” terang Darul Ifta seperti dilansir dalam laman resminya.
Lebih lanjut, Darul Ifta menyatakan bahwa mengajukan permohonan sebagai warga negara dari sebuah negara yang secara ketat membatasi kebebasan beragama. Seperti beberapa negara yang secara total menolak agama, maka tidak diperbolehkan mengambil kewarganegaraannya. Kecuali jika tujuannya hanya untuk memperoleh paspor dari negara tersebut sebelum kemudian berpindah ke negara lain.
“Jika seseorang bepergian ke negara yang pada umumnya menjamin kebebasan beragama dan tidak berdampak pada akidah dan keimanannya, maka tidak ada masalah dalam naturalisasi di negara tersebut,” lanjutnya.
Sebenarnya, hukum asal terkait masalah ini adalah tetap tinggal di negeri Muslim demi menjaga agama, keluarga, dan keturunan. Jika tidak ada kebutuhan yang mendesak, maka tinggal di negeri non-Muslim menjadi hal yang makruh. Karena dalam kenyataannya, seseorang bisa saja menghadapi ancaman terhadap agamanya, atau minimal terhadap keselamatan anak keturunannya.
Semua ketentuan di atas memiliki dalilnya masing-masing. Jika hijrah menjadi fardu ain, seperti dalam kasus seseorang yang harus menyelamatkan agamanya dan tidak ada pilihan lain selain negara tersebut atau yang sejenisnya, maka dalilnya adalah firman Allah:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Barang siapa dalam keadaan terpaksa (karena darurat) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)
Ayat ini menjelaskan bahwa keadaan darurat dapat membolehkan sesuatu yang sebelumnya dilarang.
Selanjutnya, di antara dalil yang menunjukkan kebolehan hijrah ke negeri yang dipimpin oleh non-Muslim adalah perintah Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah, padahal penguasanya, Raja Najasyi, adalah seorang Nasrani.
Sebagian penduduk Yaman juga mengalami kejadian serupa ketika kapal mereka terdampar di Habasyah. Jakfar bin Abi Thalib memerintahkan mereka untuk tinggal di sana bersama kaum Muslimin. Seandainya tinggal di sana adalah sesuatu yang dilarang, maka mereka tidak akan tetap tinggal dan juga tidak akan memerintahkan yang lain untuk tinggal, sebab pada saat itu Nabi telah berhijrah ke Madinah, dan kaum Muslimin di sana sudah mulai mendapatkan keamanan dalam menjalankan agamanya.
Kesimpulan Hukum
Lembaga Fatwa Mesir itu menyimpulkan bahwa hukum syar’i terkait kewarganegaraan dan berpindah ke negara lain bergantung pada motivasi di baliknya, dan pada sifat negara yang ingin mengambil kewarganegaraannya darinya, termasuk kepatuhan terhadap pemerintah dan hukum negara tersebut.
“Jika hal itu menyebabkan kesempitan bagi seorang Muslim dalam menjalankan agamanya dan ibadahnya—seperti di beberapa negara yang benar-benar menolak keberadaan agama—maka tidak diperbolehkan. Namun, jika negara tersebut memberikan kebebasan beragama dan tidak ada sesuatu yang membahayakan agama atau kehidupan seorang Muslim, maka tidak mengapa untuk mengambil kewarganegaraan dan berpindah ke sana, selama hal itu tidak mengandung perkara yang diharamkan,” pungkas Darul Ifta.















Please login to comment