Suatu hari, di bulan Ramadhan yang penuh berkah, Nasrudin Hoja memutuskan untuk melakukan puasa yang berbeda dari biasanya. Bukan sekadar menahan makan dan minum dari terbit hingga terbenam matahari, Nasrudin Hoja memilih untuk berpuasa dari hal-hal yang lebih dalam.
“Puasa kali ini,” gumam Nasrudin Hoja pada dirinya sendiri, “aku akan berpuasa dari hal-hal yang merusak hatiku.”
Selama sebulan penuh, Nasrudin Hoja berusaha sekuat tenaga untuk tidak bergosip, tidak mengumpat, tidak marah, dan tidak membenci siapa pun. Ia juga berusaha untuk selalu berkata baik dan berbuat baik kepada sesama.
Awalnya, puasa ini terasa sangat berat. Setiap kali ingin bergosip tentang tetangganya yang suka menjemur pakaian di halaman rumahnya, Nasrudin Hoja harus menahan diri. Setiap kali ingin marah karena tetangganya yang tidak sengaja membuang sampah di depan rumahnya, ia harus menghela nafas panjang.
Namun, seiring berjalannya waktu, Nasrudin Hoja mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Hatinya terasa lebih tenang, pikirannya lebih jernih, dan hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya menjadi lebih harmonis.
Suatu hari, seorang tetangga datang mengadu kepadanya. “Hoja,” ujarnya, “aku tidak sengaja merusak pagar rumahmu. Maafkan aku.”
Nasrudin Hoja tersenyum. “Tidak apa-apa,” jawabnya. “Semua bisa terjadi. Yang penting kita saling memaafkan.”
Tetangganya terharu mendengar jawaban Nasrudin Hoja. Ia tidak menyangka bahwa Nasrudin Hoja akan memaafkannya dengan mudah.
Pada akhir Ramadhan, Nasrudin Hoja merasa sangat puas dengan puasanya. Ia menyadari bahwa puasa tidak hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang membersihkan hati dan jiwa.
Please login to comment