Artikel

Palestina Melawan Israel Sendirian

18 Aug 2020 05:14 WIB
1148
.
Palestina Melawan Israel Sendirian Gabriel Soma, anggota kampanye pemilu Trump tahun 2020 dalam wawancara Al Jazeera pada 14 Agustus lalu, bahwa perang melawan Israel tidak lagi perang Arab-Israel namun perang Palestina-Israel.

Setelah pengumuman normalisasi Emirat-Israel pada 11 Agustus lalu, Otoritas Palestina segera meminta Liga Arab untuk mengadakan rapat darurat dan meminta negara-negara anggota untuk mendesak Emirat membatalkan kesepakatan damainya dengan Israel.

Namun, usaha Palestina tak akan berhasil sesuai harapan. Beberapa negara Arab justru menyambut baik kesepakatan normalisasi tersebut dengan menyebutnya sebagai pencapaian bersejarah seperti Mesir, Bahrain dan Oman.

Beberapa negara lainnya, tidak memberikan pernyataan tegas yang mendukung ataupun menolak seperti Yordania dan Arab Saudi. Paska kalah perang dari Israel tahun 1967, satu persatu negara Arab mulai menarik diri.

Baca juga: Al-Azhar Tolak Keras Rencana Israel Caplok Wilayah Palestina

Mesir memilih berdamai dengan Israel pada tahun 1977 setelah berhasil mendapatkan kembali semenanjung Sinai dalam Perang Oktober. Yordania akhirnya pun menyatakan berdamai dengan Israel pada tahun 1994 untuk menyelesaikan sengketa wilayah antara kedua negara.

Banyak peristiwa dan perubahan yang terjadi dalam panggung perpolitikan Timur Tengah. Negara-negara Arab tak dapat lagi menyangkal keberadaan Israel di tengah-tengah mereka, diam-diam mereka pun menjalin hubungan rahasia dengan Isreal.

Setelah Mesir dan Yordania, Emirat menjadi negara ketiga yang dengan berani mengumumkan hubungannya dengan Israel.

Dalam sebuah artikel yang di muat Independent Arabia, analis politik Saudi Turki Alhamad mengatakan bahwa realisme politik sudah mulai disadari oleh negara-negara Timur Tengah.

Israel sebagai sebuah negara merupakan kenyataan yang harus diterima entah setuju ataupun tidak, tetap menjadikan Israel sebagai musuh yang harus diperangi merupakan delusi yang tak akan memiliki akhir.

Normalisasi Emirat-Israel tak lain merupakan sampel awal terhadap apa yang akan terjadi di Timur Tengah. Beberapa pengamat mengatakan bahwa dalam waktu dekat Arab Saudi dan Bahrain akan mengikuti langkah Emirat.

 ‘Perselingkuhan’ yang dilakukan oleh negara-negara Arab dengan Israel bukanlah hal tabu. Semenjak Gamal Abdel Nasser mangkat, semangat nasionalis Arab kian terkikis sehingga negara-negara Arab mulai konsen mengurusi nasib negara masing-masing dan me-nomorkesekian-kan isu Palestina.

Dalam konteks normalisasi Emirat-Israel misalnya, Emirat membutuhkan dukungan untuk memenangkan perangnya di Yaman dan Libya. Sebagaimana Emirat juga membutuhkan koalisi untuk mendapatkan hak kepemilikan tiga pulau yang disengketakan dengan Iran.

Israel adalah kekuatan yang mampu memenuhi kebutuhan Emirat tersebut. Karenanya pengumuman normalisasi Emirat-Israel tampak tidak begitu mengejutkan. Keduanya memang sudah menjalin hubungan secara rahasia dalam bidang militer, intelijen dan ekonomi.

Emirat sendiri sudah memutuskan hubungannya dengan Palestina sejak tahun 2014 dan menjadi saksi pada saat Donald Trump dan Benjamin Netanyahu menandatangani ‘Deal of The Century’ pada 28 Januari lalu.

Baca juga: Kala Mahmoud Darwish Menjadi Mimpi Buruk Bangsa Israel

Normalisasi hubungan ini, menjadi janggal dan mengejutkan justru karena adanya embel-embel bahwa ini dilakukan untuk kemaslahatan Palestina. Embel-embel ini ditolak keras oleh pihak Palestina.  

Dalam wawancara dengan Al Jazeera pada tanggal 14 Agustus lalu, Saeb Erekat, Sekjen PLO, mengatakan dengan nada jengkel bahwa sebagai negara berdaulat harusnya Emirat bisa mengakui bahwa normasilasi yang dilakukannya dengan Israel untuk kepentingan negaranya sendiri, bukan untuk rakyat Palestina.

Bagi Erekat, Emirat sama saja telah menusuk Palestina dari belakang; normalisasi Emirat-Israel tidak akan menghentikan ambisi pencaplokan tanah-tanah Palestina oleh Israel, karena Netanyahu memang tak pernah berniat menghapuskan ambisi itu, ia hanya menundanya untuk sementara waktu.

Sebagai respon normalisasi Emirat-Israel, Mahmoud Abbas mengatakan bahwa Emirat telah mengkhianati Al-Quds dan memerintahkan untuk menarik duta besarnya di Abu Dhabi. Tapi Palestina tidak memiliki kekuatan diplomasi yang cukup untuk menekan dan menggertak Emirat.

Dalam lingkup regional, tidak sedikit negara-negara Arab yang mendukung normalisasi Emirat-Israel seperti yang telah disinggung di atas. Sementara, dalam kancah internasional, Sekjen Umum PBB melalui juru bicaranya menyambut baik normalisasi tersebut dengan harapan bahwa langkah itu akan membuka kembali pintu negoisasi perdamaian antara Palestina-Israel.

Palestina dalam kondisi yang benar-benar terjepit, ia kalah secara militer dan diplomasi. Bernegoisasi dengan Israel yang tidak ingin mengakui Al-Quds sebagai ibukota Palestina dan terus berambisi mencaplok seluruh tanah Palestina, merupakan pilihan yang tak mungkin dipilih.

Dan jika tetap ingin bermusuhan dengan Israel, Palestina harus siap berjuang sendiri. Dengan segala tekanan yang dilakukan Israel dan sekutunya serta perkembangan ambisi Iran dan Turki di Timteng, negara-negara Arab lainnya tak akan ragu lagi untuk mengikuti langkah Emirat.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Gabriel Soma, anggota kampanye pemilu Trump tahun 2020 dalam wawancara Al Jazeera pada 14 Agustus lalu, bahwa perang melawan Israel tidak lagi perang Arab-Israel namun perang Palestina-Israel.

Dan kalaupun mengakhiri penjajahan Israel di tanah Palestina merupakan delusi yang tak akan berujung sebagaimana yang dikatakan Turki Alhamad, setidaknya itu menjadi sumber kekuatan dan harapan rakyat Palestina bahwa mereka tak akan menyerahkan hak mereka kepada penjajah.

Bangsa Palestina akan terus meneriakkan bait-bait puisi Nizar Qabbani ini di hadapan wajah Israel:

Kalian tak akan bisa menjadikan rakyat kami
Rakyat Indian
Kami akan bertahan di sini
Kalian tak akan hidup tenang bersama kami
Setiap syahid dari kami
Telah mati ribuan kali
Kematian senantiasa menunggu kalian
Di setiap sisir para wanita
Di setiap helai rambut

Zulfah Nur Alimah
Zulfah Nur Alimah / 9 Artikel

Penulis dan Penerjemah, sedang menempuh program magister kritik sastra Arab di Universitas al-Azhar Mesir.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: