Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Sanad Media

Ngaji Tarikh (3): Ketika Khalifah Muawiyah Meminta al-Ahnaf Mencaci Ali

Avatar photo
123
×

Ngaji Tarikh (3): Ketika Khalifah Muawiyah Meminta al-Ahnaf Mencaci Ali

Share this article
Khalifah Muawiyah pernah meminta al-Ahnaf untuk naik ke mimbar dan berorasi mencaci Ali.
Khalifah Muawiyah pernah meminta al-Ahnaf untuk naik ke mimbar dan berorasi mencaci Ali.

Pada suatu ketika, Muawiyah bin Abu Sufyan sedang berada di sebuah majelis yang dihadiri banyak orang. Sosok al-Ahnaf bin Qais juga turut hadir dalam perkumpulan besar itu. Sebagai pembesar Bani Tamim dan dikenal luas sebagai lelaki pemberani dan punya kemampuan retorika tingkat tinggi, jelas kehadiran al-Ahnaf di majelis penguasa level Amirul Mukminin menjadi perhatian banyak orang. Tampak sorot mata para hadirin tertuju kepada lelaki yang satu ini.

Di tengah berlangsungnya perkumpulan itu, tiba-tiba datang seorang tak dikenal yang berasal dari Syam. Tanpa perlu menunggu perintah atau aba-aba, ia langsung menyerobot di tengah-tengah para hadirin dan naik ke atas mimbar. Di atas mimbar, dengan gagah lelaki ini berpidato bak orator ulung, tapi sebenarnya lelaki ini hanya ingin mendapatkan simpati dari Muawiyah. Apalagi, di akhir pidatonya, lelaki tak dikenal ini masih menyelipkan sumpah serapah melaknat Ali bin Abi Thalib yang tak lain merupakan rival utama Muawiyah dalam politik.

Tak tahan melihat caci maki yang dialamatkan kepada khalifah keempat sekaligus sepupu Nabi itu, al-Ahnaf menyampaikan protes keberatan kepada Muawiyah, “Wahai Amirul Mukminin, sungguh andaikan engkau senang dengan melaknat para Rasul Allah, maka lelaki ini tak akan ragu untuk melakukannya demi meraih simpati darimu. Wahai Amirul Mukminin, bertakwalah kepada Allah! Hentikan saja segala caci maki yang ditujukan kepada Ali. Ali sudah tenang di kuburannya dan pasti sudah berjumpa dengan Tuhannya. Demi Tuhan, Ali adalah pedang Tuhan yang mulia.”

Baca juga: Ngaji Tarikh (1): Pragmatisme Akut Khalifah Ja’far al-Manshur

Merasa diceramahi oleh al-Ahnaf, Muawiyah mulai meradang, “Wahai al-Ahnaf, kau sudah terlalu banyak berbicara. Demi Tuhan, aku perintahkan kau naik mimbar sekarang juga! Dan katakan sesuatu (yang melaknat Ali) baik kau suka atau tidak.”

Wahai Amirul Mukminin, jika engkau berkenan mengampuniku, maka kebaikan ini akan kembali kepada dirimu. Akan tetapi jika engkau tidak mengampuniku, sungguh demi Tuhan, lidahku tak akan pernah mengatakan apapun (yang melaknat Ali),” jawab al-Ahnaf.

Majulah sekarang juga!” perintah Muawiyah. “Kali ini aku akan membautmu benar-benar tidak bisa berkata-kata dan tak mampu berbuat apa-apa.”

Di tengah situasi ini, al-Ahnaf masih sempat menjawab, “Justru engkaulah yang tak akan mampu berkata-kata.”

“Cepat naiklah ke atas mimbar!” bentak Muawiyah.

Akhirnya al-Ahnaf segera naik ke atas mimbar. Setelah cukup panjang ia menyampaikan pujian kepada Tuhan dan membacakan doa, salam dan shalawat kepada baginda Nabi, akhirnya ia sampai kepada bagian yang diperintahkan oleh Muawiyah.

Lalu aku akan menyampaikan ini: wahai para hadirin sekalian, sesungguhnya Amirul Mukminin, Muawiyah bin Abi Sufyan memerintahkanku untuk melaknat Ali. Dan kita pun tahu bahwa Muawiyah dan Ali adalah dua orang yang pernah saling silang pendapat dan berujung perang saudara. Masing-masing kubu mengklaim sebagai pihak yang terzalimi. Maka dari itu, aku akan berdoa dan kalian semua aminkan doa ini: Ya Allah, kami mohon kepada-Mu, laknatlah beserta seluruh malaikat dan para nabi-Mu seseorang yang telah berbuat aniaya terhadap yang lain, dan laknat pula kubu yang telah berbuat aniaya terhadap kubu yang lain. Ya Allah, laknatlah mereka yang telah berbuat aniaya dengan seburuk-buruknya laknat. Dan kalian wahai para hadirin, aminkan doa ini.” Pungkas al-Ahnaf lalu turun dari mimbar.

Baca juga: Ngaji Tarikh (2): Khalifah Umar Pernah Mengangkat Gubernur Kuat tapi “Bejat”

Ia lalu menoleh kepadanya, “Wahai Muawiyah, aku tidak akan menambah atau mengurangi satu huruf pun dari apa yang sudah aku katakan barusan, bahkan jika harus aku bayar dengan nyawaku sendiri,” kata al-Ahnaf dengan tegas, lugas dan tanpa rasa takut.

Justru karena ini, aku sudah memaafkanmu,” jawab Muawiyah. (Rabbih t.t.:113–114).

Dan al-Ahnaf bukan sosok penjilat yang rela menghalalkan segala cara sekadar untuk meraih simpati penguasa. Poin pentingnya, al-Ahnaf tidak menyebut siapa sosok atau kelompok yang teraniaya atau siapa sosok atau kelompok yang melakukan aniaya. Gaya pidato yang disampaikan oleh al-Ahnaf tentu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki kefasihan dalam bertutur kata. Sebab di masa itu, kata-kata mampu membuat nyawa seseorang melayang sia-sia.

Kontributor

  • Musyfiqur Rahman

    Penerjemah, peminat khazanah kebudayaan dan sastra Arab klasik, dan penulis buku Ulama Nahwu Garis Lucu. Twitter/IG: @syahdaka.