Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Puasa dalam Perspektif Hikmah

Avatar photo
34
×

Puasa dalam Perspektif Hikmah

Share this article

Imam
al-Ghazali
, seorang ulama ahli dalam bidang fikih, filsafat dan tasawuf
yang pernah dimiliki oleh dunia Islam, dalam bukunya Ihya Ulumuddin menulis
bahwa ada tiga klasifikasi dalam puasa,
yaitu puasa umum, puasa khusus dan puasa di atas khusus.

Puasa umum adalah tingkatan puasa yang paling rendah
derajatnya, yaitu sekadar menahan diri dari makan, minum,  jima’ (bersetubuh)
dan perkara yang membatalkan puasa semenjak terbit fajar sampai terbenamnya
matahari. Puasa khusus, di samping menahan hal di atas, juga memelihara seluruh
anggota badan dari perbuatan maksiat dan tercela. Sedangkan puasa di atas
khusus adalah puasa hati dari segala kehendak hina dan segala pikiran duniawi
serta mencegahnya dari memikirkan segala sesuatu yang selain Allah.

Puasa pada tingkatan ketiga adalah puasa para
nabi-nabi, shiddiqin (orang-orang yang sangat benar) dan muqarrabin (orang-orang
yang dekat kepada Allah), ialah tingkatan puasa yang sangat sulit untuk kita
capai – untuk mengatakan hampir tidak mungkin. Sedangkan puasa yang ada di
tingkatan kedua adalah puasanya orang-orang yang saleh. Pada tingkatan inilah
yang seharusnya–dan mungkin–kita tuju untuk mencapainya.

Selanjutnya, jelas Imam al-Ghazali, ada enam hal yang harus
kita perhatikan untuk mencapai kesempurnaan puasa pada tingkatan kedua ini.

Pertama, menahan pandangan mata dari segala hal
yang terlarang, tercela dan dimakruhkan dalam agama serta menahannya dari
tiap-tiap hal yang meragukan dan bisa menimbulkan kelalaian dari mengingat
Allah.

Dalam kaitan ini Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa
meninggalkan pandangan mata karena takut kepada Allah, niscaya Allah menganugerahkan
kepadanya keimanan yang mendatangkan kemanisan dalam hatinya
.”

Kedua, menjaga lidah dari perkataan yang sia-sia, berdusta,
mengumpat, berkata keji dan mempergunjingkan orang lain serta memaksa lidahnya
untuk selalu diam, dan menggunakan waktu untuk selalu berzikir kepada Allah dan
membaca Al-Quran. Sabda Rasulullah, “Ada dua perkara yang merusak puasa, yaitu
mengumpat dan berbohong
.”

Ketiga, menjaga telinga dari mendengar perkataan yang tidak baik.
Karena setiap ucapan yang diharamkan, haram pula untuk didengar. Dalam kaitan
ini Rasulullah menjelaskan bahwa yang mengumpat dan yang mendengar berserikat
dalam dosa.

Keempat, mencegah anggota-anggota badan yang lain dari perbuatan
dosa. Seperti mencegah tangan dan kaki dari perbuatan maksiat dan mungkar,
mencegah perut dari makan dan minum sesuatu yang syubhat (meragukan status
hukumnya) dan haram.

Kelima, tidak bermewah-mewahan dalam berbuka puasa sampai perutnya
penuh dengan makanan. Orang yang berbuka secara berlebihan tentu tidak akan
dapat memetik manfaat dan hikmah puasa. Bagaimana mungkin dia bisa mengalahkan
musuh Allah dan mengendalikan hawa nafsunya, sementara perutnya penuh dengan
makanan yang tak terhindar banyak dan jenisnya.

Keenam, hatinya selalu diliputi perasaan cemas dan takut (khauf) dan
harap (raja’). Karena ia tidak tahu benar apakah puasanya diterima
atau tidak oleh Allah. Rasa cemas ini diperlukan untuk meningkatkan kualitas
puasa yang telah dilakukan agar lebih hati-hati terhadap perkara yang bisa
menimbulkan rusaknya puasa, sedangkan harapan berperan dalam menumbuhkan sikap
optimistis akan segala pahala, nikmat dan anugerah Allah yang diberikan
kepadanya.

Keutamaan Ramadhan

Pada bulan ini Allah menurunkan Al-Quran dari Lauhul mahfudz ke langit dunia di suatu malam yang dirahasiakan
Allah kapan tepatnya. Dalam firman
Nya, Allah menyebut malam
turunnya Al-Quran sebagai malam Lailatul Qadar. Malam yang kebaikannya lebih
dari seribu bulan. Malaikat Jibril dengan diiringi malaikat lain turun ke dunia
dengan izin Tuhan mereka untuk menyelesaikan segala urusan. Salam dan sejahtera
yang terjadi malam itu berlangsung sampai terbit fajar.

Sebagian ahli menyebut bahwa peristiwa turunnya Al-Quran
terletak pada suatu malam antara tanggal satu sampai habis Ramadhan. Sementara
yang lain menyebut terjadinya malam itu adalah sekitar sepuluh malam
terakhir  dari bulan Ramadhan.

Buat kita, tentu tidak terlalu penting kapan terjadinya malam
yang indah tersebut. Dengan melakukan kegiatan amal ibadah yang mendekatkan
diri kita kepada Allah selama sebulan penuh, tentu kita temui salah satu
diantaranya malam yang dimuliakan Allah tersebut.

Secara umum, Allah mengisyaratkan bahwa peristiwa turunnya Al-Quran
terjadi pada bulan Ramadhan. Firman-Nya, Bulan
Ramadhan
adalah bulan yang diturunkan di dalamnya Al-Quran sebagai petunjuk
bagi manusia dan penjelasan-penjelasan buat petunjuk tersebut dan Alfurqan
.

Sementara itu banyak pula hadits-hadits Rasulullah yang
memperkuat dan menjelaskan keutamaan
bulan Ramadhan. Imam Muslim
meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barangsiapa
menghidupkan bulan Ramadhan (melakukan ibadah dan zikir) dengan yakin dan
ikhlas, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lewat.”

Sementara Aisyah juga menginformasikan bahwa keseriusan
Rasulullah di bulan Ramadhan dalam beribadah melebihi bulan-bulan yang lain dan
keseriusan beliau dalam sepuluh hari terakhir lebih dari yang lain.

Ayat dan Hadits di atas kiranya cukup representatif sebagai
bukti kemuliaan Ramadhan, meskipun masih banyak pula bukti-bukti ayat dan
hadits lain yang mendukung kebenaran tersebut.

Lewat berbagai kesempatan dan forum, baik dalam
cermah-ceramah agama, khutbah, pengajian, majlis taklim dan berbagai acara
keagamaan yang disiarkan  berbagai media massa, para penyair, ustad, dai
dan kiai bahkan artis dan presenter televisi dan radio tak bosan untuk selalu
mengulang-ulang keutamaan Ramadhan, hingga terkesan menjemukan.

Namun yang jadi pertanyaan apakah keutamaan Ramadhan yang
mereka dendangkan itu sebatas retorika atau kumpulan bait-bait yang menghiasi
tumpukan sajak atau nada? Atau mereka–dan kita tentu–pernah merasakan dengan
indera kita keutamaan yang sering kita dengar itu? Apakah kita sudah konsisten
dengan rasa keagamaan kita dengan istiqomah menjalankan anjuran dan
meninggalkan larangan-Nya di bulan yang penuh berkah ini? Tentu hanya hati kita
yang tahu jawabannya.

Pertanyaan ini mengemuka, sebab selama ini kita–termasuk saya
mungkin–sering bersikap munafik. Berlagak gagah, suci dan khusyuk di depan
publik. Namun diam-diam otak dan hati kita sering tidak peduli dengan apa
berkumandang dari mulut kita. Maklum saja, kata orang ini kan zamannya semua
manusia ingin jadi artis. Na’uzu billah min zalik.

Introspeksi

Pada tahun-tahun yang lewat sudah kita lakukan ibadah puasa.
Namun barangkali perlu kita tanyakan kepada pribadi masing-masing, apakah puasa
yang selama ini kita lakukan sudah ideal seperti kriteria di atas. Atau sekedar
puasa umum yang hanya meninggalkan makan, minum dan perkara yang
membatalkannya?

Memang puasa pada tingkatan pertama ini sudah sah secara
legal formal keagamaan kita (fikih), karena secara definitif kita sudah tidak
menyalahi aturan berpuasa. Akan tetapi sebagai seorang muslim yang sangat merindukan
rida Allah dan ketenteraman yang hakiki, tentu secara terus menerus kita selalu
berupaya untuk meningkatkan kualitas puasa dengan memenuhi kriteria ideal
sebagaimana dijabarkan di atas, hingga muara yang kita dapatkan berada dalam
puncak ketakwaan kepada Allah, sebagaimana dijanjikan Allah dalam firman-Nya, “Wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, supaya
kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.”

Dan pada bulan Ramadhan kali ini, alangkah baiknya kita tidak
menunda-nunda waktu lagi, selagi harapan dan kesempatan masih ada. Untuk bisa
mempuasakan mata, mulut, telinga, tangan, kaki, bahakan pikiran, hati dan
seluruh anggota badan, di samping perut kita.

Dengan demikian kita bisa menyaksikan dan merasakan sebuah ketenteraman
dan kedamaian hidup hakiki yang penuh dengan rahmat dan rida-Nya hingga kita
sampai pada muara kebahagiaan abadi. Sembari memohon kepada-Nya agar segala
kebaikan yang dialami selama bulan puasa ini bisa dipertahankan pula setelah
bulan puasa nanti.

Dan puncak dari segala kenikmatan yang kita dapatkan adalah
ketika Allah kelak memanggil-manggil kita sebagai penghargaan terhadap manusia
yang sempurna imannya, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang puas lagi diridainya, maka masuklah ke dalam golongan
hamba-hamba-Ku dan masuklah dalam kedamaian syurgak-Ku” (QS 89:27-30).

Selamat menjalankan ibadah puasa.

Kontributor

  • Tsalis Muttaqin

    Tsalis Muttaqin, alumnus Pondok Pesantren Al Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Menyelesaikan S1 di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Hadits, Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Sekarang aktif mengajar sebagai dosen di IAIN Surakarta.