Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Buku

Perasaan dan Pengetahuan dalam Risalah Kesedihan Ibnu Sina

Avatar photo
21
×

Perasaan dan Pengetahuan dalam Risalah Kesedihan Ibnu Sina

Share this article

Pendidikan kita selama ini amat fasih dalam
mengajarkan kepada anak-anak di usia dini urusan yang berhubungan dengan badan,
tubuh, atau jasmani.

Dulu, pengajaran ini diramu dalam disiplin
‘Penjaskes’, pendidikan jasmani dan kesehatan. Kita diajari bagaimana cara
menjaga kesehatan tubuh, makanan apa saja yang bergizi tinggi, dan kita juga
disuruh menghafalkan semboyan ‘empat sehat lima sempurna’.

Pendidikan kita juga cukup fasih dalam mengajari
anak didik bagaimana caranya berpikir atau bernalar dengan benar, kendati
tentunya masih banyak catatan di dalamnya.

Anak-anak sekolah dasar sampai perguruan tinggi
dikenalkan beberapa metode dalam menalar sesuatu, mulai dari yang paling
sederhana sampai ke yang paling njlimet bin sukar. Kita dikenalkan dengan
logika klasik, lebih banyak melalui struktur paragraf dalam bahasa Indonesia,
mulai dari induktif, deduktif, sampai campuran. Di perguruan tinggi, kita
bahkan dikenalkan dengan logika modern, mulai dari positivisme sampai logika
dialektis.

Namun demikian, pendidikan kita teramat abai
terhadap pendidikan rasa.

Pendidikan rasa tidak pernah dikurikulumkan
sebagaimana pendidikan yang lain. Barangkali lantaran perasaan identik dengan
perjalanan hidup seseorang yang sama sekali tidak menerima deskripsi langsung.
‘Sudah makan asam garam’ adalah adagium rutin bilamana seseorang ditanya
tentang keberhasilannya dalam mengolah rasa. Artinya, pendidikan rasa lebih
mengarah kepada pendidikan langsung dalam laku kehidupan yang bersifat
pengalaman itu sendiri.

Mungkin saja ilmu yang mendekati pendidikan rasa
adalah psikologi. Tetapi ilmu psikologi murni hanya berurusan dengan deskripsi
masalah beserta teori yang ada di dalamnya, sementara psikologi terapan
(psikiatri) berurusan dengan gejala dan efek setelah suatu kasus terjadi.

Psikoanalisis dengan berbagai variannya pun
demikian. Ilmu ini (jika telah disepakati sebagai disiplin yang terpisah dari
langgam psikologi) berurusan dengan tingkah laku manusia secara umum beserta
teori yang dapat menjelaskan tingkah laku tersebut.

Alhasil, alih-alih ‘mengolah rasa’ sebagaimana
pendidikan jasmani ‘mengolah raga’ dan pendidikan logika ‘mengolah pikir’,
psikologi tampil lebih sebagai ‘pengobat rasa’. Padahal, semboyan dalam ilmu
kesehatan ‘mencegah lebih baik daripada mengobati’ mencakup semua penyakit.
Bukan hanya badan dan pikiran, tetapi juga perasaan.

Pendidikan rasa kebanyakan muncul dalam bentuk
yang informal. Tentunya agama dan segenap pemangkunya berperan besar dalam hal
ini. Agama, umumnya, dan tasawuf atau mistisisme, khususnya, berbicara kepada
manusia dalam urusan yang menyeluruh: raga, rasa, dan pikir.

Unsur rasa dalam agama tentunya lebih dominan.
Maka tak mengherankan jika agama dianggap candu oleh sebagian pemikir
materialis, lantaran ia menawarkan obat rasa bagi jiwa-jiwa yang menderita di
alam raya ini. Agama menawarkan kehidupan lain yang indah dan terbebas dari
derita; sesuatu yang amat kontras dengan dunia beserta isinya.

Namun demikian, pemangku agama umumnya mengajarkan
olah rasa melalui cara yang untuk sebagian golongan amat sukar, misalnya
melalui mujahadah dan tirakat. Dalam tasawuf sendiri, cara ini dianggap paling
jitu untuk mengolah perasaan manusia yang acapkali kecewa, sedih, galau, dan
sekian afeksi lainnya. Di sinilah pentingnya pendasaran logis atas ilmu olah
rasa. Jadi, di sana perlu adanya singkronisasi antara perasaan dan pengetahuan.

Perasaan adalah bagian dari kemanusiaan manusia.
Manusia tidak bisa dilepaskan dari perasaannya. Rasa sedih, misalnya, tentunya
pernah menjangkiti tiap manusia. Rasa ini tidak bisa dilenyapkan dari manusia
dan karenanya titik tekannya bukan terletak pada pelenyapan atas rasa itu,
namun pengontrolan terhadapnya.

Ibnu Sina, melalui risalah yang amat pendek
bertajuk ‘Ar-Risalah fi Mahiyah al-Huzn’ (Tentang Kesedihan), berupaya
memberi pendasaran logis atas afeksi manusia, terkhusus rasa sedih, agar dengan
pendasaran logis tersebut, orang mampu untuk mencapai pengetahuan tentang
hakikat kesedihan lantas dengan begitu dapat mengontrolnya.

Pertama-tama, Ibnu Sina menjelaskan tentang
hakikat kesedihan, bahwa ia adalah ‘kepedihan psikis yang timbul lantaran
hilangnya sesuatu yang dicintai dan lenyapnya sesuatu yang diingini’.

Hakikat kesedihan ini secara tersirat juga ingin
membangun rukun rasa: (i) subjek, (ii) objek, dan (iii) perasaan. Subjek
senantiasa mencari objek perasaannya. Kesedihan berawal dari rasa ingin atau
hasrat atau cinta. Subjek menghasrati objeknya. Tetapi jika objek itu lenyap,
maka yang hadir adalah rasa sedih. Dengan begitu, kesedihan senantiasa bersifat
negatif. Ia adalah rasa yang timbul akibat lenyapnya objek awal dari subjek
yang menghasrati. Lantaran sifat dari objek hasrat adalah non-kekal, maka tidak
ada seorang pun yang luput dari jeratan kesedihan itu selama ia masih menghuni
dunia profan.

Kedua kalinya, Ibnu Sina memberikan solusi agar
manusia tidak didera kesedihan. Jika kesedihan merupakan efek negatif dari rasa
cinta atas objek tertentu, maka hilangnya objek ini selalu berbanding lurus
dengan menjangkitnya rasa sedih.

Alhasil, alih-alih memberikan solusi dengan
‘menghilangkan hasrat’, Ibnu Sina justru menyarankan agar manusia menghasrati
sesuatu yang kekal. Apa itu sesuatu yang kekal? Sesuatu yang bersifat akali,
atau spirit. Sesuatu ini kontra jasad, simbol keprofanan duniawi. Dalam naungan
filsafat Platonisme, solusi Ibnu Sina terlihat masuk akal. Bagi Platon, ide itu
kekal. Sebanyak apa pun jenis kuda yang punah, ide tentang kuda tetap abadi.
Inilah barangkali yang dimaksud oleh Ibnu Sina dengan sesuatu yang akali, yakni
logos, pengetahuan. Mencintai pengetahuan, dengan demikian, adalah solusi agar
orang tidak dirundung kesedihan yang berlarut-larut.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa perasaan
haruslah diimbangi dengan pengetahuan. Perasaan tanpa pengetahuan akan
membabi-buta, sementara pengetahuan tanpa perasaan akan kering-kerontang.

Pengetahuan dan perasaan harus saling mendidik.
Pengetahuan mendidik perasaan agar tidak lebay, terlalu larut, dan tanpa arah.
Dan perasaan mendidik pengetahuan agar bijaksana, manusiawi, dan bermartabat. Ibnu
Sina mendidik kita agar tidak hanya mengolah raga dan pikir, tapi juga mengolah
rasa. Apa yang kalian tangkap dari diksi ‘mengolah’? Memilih, memilah, dan
mencampur, bukan? Itulah hakikat kehidupan, penciptaan.

Kontributor

  • M.S. Arifin

    M.S. Arifin, lahir di Demak 25 Desember 1991. Seorang penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat. Bukunya yang sudah terbit: Sembilan Mimpi Sebelum Masehi (antologi puisi, Basabasi, 2019) dan Mutu Manikam Filsafat Iluminasi (terjemahan karya Suhrawardi, Circa, 2019). Bisa dihubungi lewat: ms.arifin12@gmail.com.