Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Kartini, Al-Qur’an, dan Perempuan yang Merawat Semesta

Avatar photo
114
×

Kartini, Al-Qur’an, dan Perempuan yang Merawat Semesta

Share this article
Raden Ajeng Kartini (Sumber: Kompas)
Raden Ajeng Kartini (Sumber: Kompas)

Hari ini kita mengenang Kartini bukan hanya sebagai simbol emansipasi, tetapi sebagai perempuan yang menulis untuk merenung, membaca untuk menyembuhkan, dan bercita-cita bukan hanya untuk dirinya, melainkan untuk dunia yang lebih adil dan beradab.

Dalam surat-suratnya, Kartini bukan hanya mempersoalkan keterkungkungan perempuan dalam struktur feodal yang kaku, tapi juga gelisah terhadap kemiskinan spiritual yang tak mampu menjawab panggilan jiwanya. Ia haus ilmu, namun juga haus makna. Dan pada akhirnya, ia menemukan cahaya itu saat mengaji bersama Mbah Soleh Darat di Semarang—seorang ulama fikih yang menerjemahkan Al-Fatihah ke dalam bahasa Jawa agar bisa dicerna oleh hati, bukan hanya dihafal oleh lidah.

Di sana, Kartini menyentuh sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar kesetaraan: ia menyentuh hikmah, ia menemukan bahwa Islam bukan sekadar hukum, tapi juga cinta dan kasih. Ia menemukan bahwa keadilan bukan dimulai dari pengadilan, tapi dari kesadaran batin.

***

Dalam semangat itulah, kita bisa membaca kembali Kartini melalui lensa ekofeminisme—sebuah arah pemikiran yang mengaitkan perjuangan perempuan dengan perjuangan merawat bumi dan segala isinya. Ekofeminisme lahir dari kesadaran bahwa penindasan terhadap perempuan dan kerusakan lingkungan seringkali berakar dari sumber yang sama: mentalitas eksploitasi.

Dunia modern telah menjadikan perempuan dan alam sebagai objek—dikuras, ditundukkan, diukur dengan angka dan fungsi semata. Tubuh perempuan dieksploitasi dalam budaya konsumsi, sementara tubuh bumi digerogoti atas nama pembangunan. Keduanya mengalami luka yang sama: hilangnya martabat sebagai subjek kehidupan.

Di titik inilah ekofeminisme berbeda dari feminisme positivistik. Jika feminisme modern sering terjebak dalam logika maskulin—yang mengagungkan rasionalitas, produktivitas, dan kekuasaan—ekofeminisme justru meneguhkan sisi lain dari kemanusiaan: empati, spiritualitas, dan keterhubungan dengan semesta. Ia tidak sekadar memperjuangkan posisi perempuan dalam struktur yang sudah ada, tapi menawarkan cara hidup yang baru—yang lebih menyatu, lebih merawat, lebih bersujud kepada keseimbangan.

***

Maka, Kartini yang membaca Al-Qur’an adalah Kartini yang sadar: bahwa ilmu bukan hanya soal tahu, tapi juga soal merawat; bahwa membaca bukan hanya soal mengeja huruf, tapi juga membaca kehidupan, membaca bumi, membaca langit, dan membaca diri.

Perempuan hari ini, dalam semangat Kartini dan nilai-nilai Qur’ani, bukan hanya pejuang yang ingin bebas, tapi penjaga keseimbangan. Ia mendidik dengan kelembutan, ia memimpin dengan nurani, dan ia menjaga alam seperti ia menjaga anaknya sendiri. Dalam dirinya, mengalir satu kesadaran yang menyambungkan langit dan bumi.

Di tengah dunia yang semakin gaduh oleh ambisi dan persaingan, perempuan seperti Kartini mengajak kita kembali pada yang hening: membaca, merenung, dan merawat.

Dan barangkali, itulah jihad perempuan hari ini: menjadi rahim bagi peradaban yang lebih bijak dan bersahaja.

Selamat Hari Kartini.

Mari kita ingat, bahwa perempuan tidak seharusnya dieksploitasi dengan alasan apapun—baik itu atas nama fashion, agama, atau apa pun yang mengurangi martabatnya. Kita punya hak untuk memilih, untuk dihormati, dan untuk merawat diri kita sendiri serta alam ini. Sebagaimana Kartini berjuang untuk haknya, kini adalah saatnya kita, perempuan, untuk tetap menjaga keseimbangan alam dan hidup kita, agar dunia menjadi tempat yang lebih adil dan penuh kasih.

Kontributor