Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Silsilah Keilmuan Tarekat Ba’alawi di Bumi Hadramaut

Avatar photo
44
×

Silsilah Keilmuan Tarekat Ba’alawi di Bumi Hadramaut

Share this article

Tarekat Ba’alawi atau Alawiyah merupakan manhaj yang didirikan oleh keluarga Ba’alawi, yaitu mereka yang memiliki garis keturunan berantai kepada Rasulullah Saw.

Definisi Manhaj sendiri adalah metode, dan yang dimaksud metode di sini ialah langkah bagaimana seorang hamba beribadah kepada Allah swt dengan cara-cara tertentu.  Dalam kitab Al-Manhajus Sawi, Habib Zein bin Smith memaparkan setidaknya ada 3 hal yang membedakan Tarekat Ba’alawi dari tarekat lainnya. Di antaranya:

  • Tarekat Ba’alawi sangat memerhatikan nilai–nilai ikhlas dalam beribadah, tawakal, zuhud, dan fokus terhadap perkara akhirat.
  • Tarekat Ba’alawi lebih mementingkan adab dan ahlakul karimah.
  • Tarekat Ba’alawi selalu mengutamakan ilmu dan pengamalannya.

Dalam bidang fikih, keluarga Ba’alawi mengikuti madzhab Syafii. Imam Muhajir sangat berdedikasi dalam menyebarkan faham madzhab tersebut di saat pertama kali menginjakan kaki di bumi Hadramaut. Berita ini sejalur dengan apa yang dikatakan oleh Syekh Bamakhramah dalam kitab Qolaidan Nahri fi Wafayat A’yaanid Dahri, bahwa madzhab Syafii tersebar di Hadramaut pada tahun 340 H, dan hal itu terjadi setelah Imam Muhajir berhijrah ke tempat tersebut.

Sedangkan dari segi akidah, keluarga Ba’alawi memegang akidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah bermanhaj Asy’ari yaitu faham yang dibawa dan disebarluaskan oleh Imam Abu Hasan Ali bin Ismail Asy’ari.

KH. Hasyim Asy’ari memberikan definisi mengenai Ahlu Sunnah dengan mengutip pernyataan Abu Al-Baqa Al-Kafawi, yaitu “Ahlu Sunnah secara kebahasaan adalah jalan meskipun tidak diridhoi oleh Allah, sedangkan secara syar’i Ahlu Sunnah adalah jalan yang diridhoi oleh Allah yang dilalui dalam agama, yang dilalui oleh Rasulullah atau selain beliau dari orang-orang yang menjadi panutan dalam agama seperti para sahabat Nabi.”

Adapun manhaj tasawuf, mereka mengikuti ajaran sufi yang dianut oleh sang Hujjatul Islam Imam Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Beliau adalah pembaharu Islam ke-5 setelah Qodhi Imam Abu Bakar Al-Baqillani.

Dalam aliran tasawuf yang dibawa oleh Imam Ghazali, nilai ikhlas berada di puncak pertama. Beliau memandang bahwa segala sesuatu yang tidak disertai dengan ikhlas, maka perbuatan tersebut tak berarti. Selain itu, beliau juga menerapkan sistem moderasi syariah al-haqiqoh dalam ajarannya guna mencapai keimanan yang hakiki.

Silsilah nasab keluarga Ba’alawi bersambung kepada Syarif Alawi bin Ubaidillah. Beliau merupakan cucu dari Imam Muhajir Ahmad bin Isa An-Naqib, putra dari Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far as-Shodiq bin Muhammad al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husein bin Ali bin Abi Thalib Ra. Jadi nasab mereka yang mulia ini bersambung terus hingga pemimpin para Rasul Nabi Muhammad saw, untaian silsilah ini ibarat kalung permata yang sangat indah kilauannya yang merupakan ungkapan untaian penyampaian risalah yang mulia.

Imam Al-Muhajir menetap di Bashrah, kota yang masyhur akan keilmuan Islam di negeri Irak. Setelah nilai-nilai ibadahnya semakin sempurna, batin beliau telah terpancari cahaya kewalian, disertai rahasia keistimewaan juga akal fikiran.

Negeri Irak seketika berubah menjadi negeri yang penuh akan noda darah, kekacauan mulai muncul di mana-mana, kekerasan dan pembunuhan merajalela dan tak terkendali. Tak luput dari itu, keluarga Imam Muhajir pun menjadi incaran bagi para kelompok liberalisme yang menganut faham Qaramithah. Mereka berkonspirasi untuk dapat membunuh ahlu bait. Kausalitas akan timbulnya kehancuran ini juga terjadi akibat kemunculan sekte Az-Zanji (aliran sesat) yang mulai kembali berkuasa pada masa Dinasti Abbasiyah.

Menanggapi keadaan krusial seperti ini, Imam Muhajir terdorong untuk berhijrah dengan membawa keluarganya serta para pengikutnya yang lain, di samping mematuhi perintah Tuhannya,

فَفِرُّوْا إِلَى اللهِ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيْرٌ مُبِيْنٌ 

“Maka segeralah kembali kepada (mentaa’ati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (QS. Adz Dzariyat: 50)

Juga mengikuti jejak kakeknya Rasulullah saw yang menyuruh berhijrah dari tempat-tempat yang penuh fitnah agama. Beliau berhijrah pada tahun 317 H. Dengan tekad yang kuat, beliau berhijrah beserta 70 orang sanak keluarga dan pengikutnya yang lain, menuju negeri Hijaz lalu dilanjutkan ke kota Madinah. Setelah itu berpindah lagi ke kota Mekkah dan pada akhirnya beliau berpindah ke desa-desa di Yaman, dari satu desa ke desa lainnya.

Kota awal yang beliau tempati adalah Hijrain, salah satu perkampungan di kota Kindah. Kemudian mengakhiri perjalanan terakhirnya di kota Husaisah dan bertempat tinggal di sana. Berkat keluasan ilmu dan cahaya ilahi yang terpendam pada diri Imam Muhajir, beliau mampu mematahkan pemikiran akidah Al-Ibadiyyah dan menyebar luaskan pemahaman akidah Ahlu Sunnah wal Jamaah.

Imam Muhajir memiliki putra yang bernama Ubaidillah. Dari Ubaidillah terlahirlah tiga orang putra yaitu Bashri, Jadid dan Alawi.

Setelah Imam Muhajir wafat, keturunan beliau berpindah dari kota Husaisah ke kota Tarim, kota yang dijuluki sebagai Tarim Al-Ghonnna. Kota tersebut dinamai dengan sebutan Tarim karena diambil dari nama seorang raja yang pernah menguasai kota tersebut sebelumnya, yaitu Tarim bin Hadramaut. Tokoh Ba’lawi pertama yang menempati kota ini adalah Imam Ali bin Alawi Kholi’ Qosam, juga saudaranya serta mereka yang berasal dari keturunan Bahsri dan Jadid.

Kedatangan keluarga Ba’alawi ke negeri Hadramaut, khususnya ke kota Tarim berdampak besar. Di antaranya banyak kalangan yang bertaubat dan banyak orang yang kembali ke jalur akidah yang benar, didirikan halaqah-halaqah pengajian, masjid-masjid dll. Dengan ini keturunan Imam Muhajir telah menjadi paku bumi bagi negeri tersebut.

Sejarah menorehkan bahwa fase pertama tarekat Ba’alawi dimulai dari Imam Muhammad bin Ali yang kita kenal sebagai Shohib Mirbath. Beliau merupakan sosok imam yang menyatukan seluruh guru-guru tarekat sufi dan asal usul para pembesar ahli hakikat dari kalangan Bani Ba’alawi. Lalu diteruskan oleh Imam Ali (ayahanda dari Faqih Muqoddam) dan Alawi (Paman dari Faqih Muqoddam). Dan dari mereka berdualah kembalinya semua silsilah nasab keluarga Ba’alawi di bumi Hadramaut, dan yang telah tersebar ke seluruh penjuru dunia.

Imam Faqih Muqoddam Muhammad bin Ali Ba’alawi merupakan penggagas tarekat Ba’alawi. Beliau dilahirkan di kota Tarim pada tahun 574 H dan wafat pada tahun 653 H. Beliau adalah guru dan imam bagi para guru, bahkan maha guru dan imam bagi setiap guru dan imam. Habib Ahmad bin Zein penulis kitab Risalatul Jami’ah mengungkapkan beliau adalah Syeikhus Syuyukh (maha guru).

Imam Abdurrahman bin Abdullah Balfaqih berkata, “Asal dari tarekat Saadah Ba’alawi adalah tarekat Madyaniyyah, yaitu tarekat yang dibawa oleh Syekh Abu Madyan Syu’aib Al-Maghribi. Sedangkan maha guru dari pemimpin para wali ialah Faqih Muqoddam Muhammad bin Ali Ba’alawi Al-Husaini, dari tangan beliaulah lahir banyak ulama serta wali-wali Allah yang telah tersebar ke seluruh dunia.”

Setelah Faqih Muqoddam wafat, kepemimpinan tarekat ini dilanjutkan oleh para keturunannya dan berakhir pada zaman Imam Al-Aydrus dan saudaranya Syekh Ali. Walau begitu, semenjak zaman beliau keilmuan Bani Ba’alawi berkembang pesat yaitu bermunculannya karangan kitab-kitab keilmuan seperti Al-Kibrith Al-Ahmar, Al-Juz Al-Latif, Al-Ma’arij, Al-Barqah dll.

Di zaman ini pula muncul sang mutiara yang menyandang gelar Faqih Muqoddam Tsani yaitu Syekh Al-Qutub Abdurrahman Assegaf, juga putranya yang bernama Imam Umar Al-Muhdhor, Imam Abdullah bin Abu Bakar Al-Aydrus, Imam Abu Bakar Al-Adni, Syekh Abu Bakar bin Salim Fakhrul Wujud, Imam Umar bin Abdurrahman Al-Atthas (penggubah ratib Al-Atthas) hingga berlanjut kepada Pembaharu Islam abad ke-12 yaitu Al-Quthub Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad, sang penggubah ratib Al-Haddad termashyur.

Pada fase Imam Haddad, keilmuan Islam semakin berkembang dari sebelumnya. Hal ini terjadi karena banyaknya ulama yang mengambil ilmu tarekat dari Imam Haddad dengan manhaj baru, dan kemudian disebarluaskan ke masyarakat luas, kegiatan ini pun disebut sebagai Thariqoh Ahlu Yaman.

Eksistensi Imam Haddad memberikan pengaruh besar bagi umat Islam, seluruh nasihat-nasihat, untaian-untaian kisah nan hikmah, bacaan wirid-wirid dan karya-karya beliau telah tersebar luas dan berhasil merubah segenap umat Muslim menjadi lebih baik. Selain itu, beliau telah menghasilkan banyak ulama di antara mereka yang unggulan adalah Al Faqih Ali bin Salim, Syeikh Muhammad Ba Syuaib, Syeikh Umar Bawazir (yang dimakamkan di daerah Ghail), Syeikh Saleh Fadl bin Abdullah ibnul Faqih Fadl Asy Syihri, Syeikh Ba Hamran, Syeikh Khalil bin Syeikh Ba Maimun, dan di antara anak didik beliau adalah keponakannya yang tercinta Syeikh Muhammad bin Ali Mauladawilah.

Setelah imam Haddad wafat, estafet kepemimpinan tarekat Ba’alawi diteruskan oleh pembesar ulama setelahnya yang notabenenya adalah murid beliau sendiri seperti Imam Habib Ahmad bin Zein Al-Habsyi, Imam Abdurrahman bin Abdullah Balfaqih, dan Imam Muhammad bin Zein Smith.

Fase Imam Haddad beserta muridnya merupakan fase penyebaran dakwah Islam, dan salah satu murid yang paling berpengaruh ialah Imam Umar bin Seggaf Assegaf, beliau dijuluki sebagai Syaikhul Aqhthab. Lalu para murid beliau seperti Habib Abdullah bin Husein bin Thahir, Habib Ahmad bin Umar bin Smith dll.

Namun, tokoh yang paling masyhur setelah fase Imam Haddad ialah Mufti Hadramaut Imam Abdurrahman bin Muhammad Al-Mashyur, penulis kitab Bughyatul Mustarsyidin (kitab yang berisikan kumpulan fatwa-fatwa Ulama Hadramaut), lalu Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas yang namanya harum di luar Hadramaut seperti di Mesir, Syam dan Hijaz, beliau adalah penegak bendera mahabbah di kalangan ulama salaf. Dan yang terakhir ialah Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, pemimpin ulama Tasawuf sekaligus penulis maulid Simthu Duror.

Kemudian fase tarekat Ba’alawi ini terus berlanjut dan diwarisi kepada ulama-ulama generasi selanjutnya, seperti Syaikhul Islam Habib Abdullah bin Umar As-Syatiri, pendiri Rubath Tarim sekaligus penegak kebangkitan ulama pada zamannya. Lalu Habib Abdullah bin Alawi bin Syihab mata hati kota Tarim, serta Habib Salim bin Hafidz yang merupakan datuknya sang singa podium Habib Umar bin Hafizh dan kakaknya Habib Ali Mashyur bin Hafizh pemimpin majlis fatwa di Tarim.

Silsilah nasab keilmuan ini tidak terhenti, melainkan terus berlanjut hingga zaman sekarang. Salah satu ulama yang sangat menjaga silsilah keilmuan ini adalah Habib Ahmad Mashyur bin Taha Al-Haddad, Da’i Asia-Afrika yang telah mengislamkan lebih dari 10.000 orang di negara Afrika. Lalu terus diwariskan kepada murinya, seperti Habib Abu Bakar bin Ali Mashyur sang pemikir Islam pendiri rubath Al-Washatiyyah, Habib Abdullah Baharun rektor Universitas Al-Ahgaff, Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Khodimul ilmi Syarif di negeri Haram, serta Syekh Dr. Muhammad bin Ali Ba’atiyah pendiri Universitas Imam Syafi’i.

Demikianlah silsilah keilmuan tarekat Bani Ba’alawi yang bermuara kepada Rasulullah Shallahu alaihi wasllam Dan setiap tokoh ulama yang mewarisi tarekat ini memiliki kemuliaan dan kedudukan istimewa di sisi Allah swt dan para mahluk-Nya. Wallahu A’lam bis Shawab.

Kontributor

  • Faisal Zikri

    Pernah nyantri di Daarul 'Uulum Lido Bogor. Sekarang meneruskan belajar di Imam Shafie Collage Hadhramaut Yaman. Suka membaca, menulis dan sepakbola.