Dalam beberapa minggu terakhir, jagat TikTok, Instagram dan Facebook dihebohkan oleh tren lagu “tob tobi tob”. Lagu Arab unik ini awalnya dianggap shalawat oleh sebagian pengguna. Namun, tak lama kemudian, sejumlah influencer menjelaskan bahwa lagu tersebut hanyalah lagu biasa yang diadaptasi dari puisi Arab klasik. Puisi asli tersebut berjudul Shaut Shafir al-Bulbuli (Suara Kicau Burung Bulbul).
Banyak orang menisbatkan puisi Shaut Shafir al-Bulbuli ini kepada sastrawan sekaligus kritikus sastra Arab ternama, Abdul Malik bin Quraib al-Ashma’i (w. 831), termasuk Ust. Adi Hidayat, seorang ustadz kharismatik yang dikenal memiliki daya hafalan yang kuat.
Pertanyaannya, benarkah syair Shaut Shafir al-Bulbuli adalah karya al-Ashma’i, seperti klaim Ust. Adi Hidayat dalam beberapa ceramahnya? Mari kita bahas lebih lanjut.
Shaut Shafir al-Bulbuli adalah salah satu puisi klasik paling terkenal di dunia Arab, bahkan banyak disenandungkan oleh masyarakat luas. Puisi yang penuh permainan kata-kata rumit, penggambaran citra yang hidup, dan memiliki musikalitas yang tinggi mampu membuat banyak orang tersihir. Sayangnya, puisi tersebut terlanjut dikaitkan dengan tokoh besar al-Ashma’i.
Apa yang disampaikan oleh Ust. Adi Hidayat memang ada sumbernya. Artinya, ketika ia mengatakan bahwa puisi Shaut Shafir al-Bulbuli adalah karya al-Ashma’i, ia tidak sedang melakukan tindakan ngawur. Justru saya hendak mengkritik sumber yang kemungkinan dijadikan rujukan oleh Ust. Adi Hidayat dan banyak pihak lainnya.
Sumber Awal
Sejauh penelusuran saya, sumber paling awal yang menyebut Shaut Shafir al-Bulbuli karya al-Ashma’i adalah Halbah al-Kumait karya Syamsuddin Muhammad bin al-Hasan al-Nuwaji (w. 1455), I’lam al-Nas Bima Waqa’ li al-Baramikah Ma’a Bani al-‘Abbas karya Muhammad Diyab al-Itlidi (w. 1689), al-Raudh al-Nadhir fi Tarjamah Udaba’ al-Ashr karya karya Ishamuddin al-Umari (w. 1779), dan Majani al-Adab fi Hadaiq al-‘Arab karya Louis Cheikho (w. 1927).
Secara umum, sumber-sumber di atas—selain al-Raudh al-Nadhir fi Tarjamah Udaba’ al-Ashr (al-Umari t.t.: 52)—menggambarkan latar belakang puisi yang dinisbatkan kepada al-Ashma’i itu sebagai berikut:
Khalifah Abu Ja’far al-Manshur disebut mampu menghafal bait-bait puisi para penyair hanya dengan sekali dengar. Ia juga memiliki seorang budak laki-laki yang mampu menghafalnya dengan dua kali dengar, dan budak perempuan yang mampu menghafalnya dengan tiga kali dengar (al-Itlidi 2004: 85). Khalifah al-Manshur pernah menantang para penyair untuk membacakan puisi di hadapannya, dan ia akan mengulanginya seketika, tak peduli seberapa panjang atau rumitnya puisi tersebut (al-Nuwaji 1938: 89). Ia menjanjikan hadiah menggiurkan bagi penyair yang berhasil membuatnya gagal mengulang kembali puisi mereka, padahal ia sendiri dijuluki Abu al-Dawaniq (orang yang sangat teliti dan perhitungan dalam setiap melakukan transaksi). Namun, dari sekian banyak penyair yang mencoba, hanya al-Ashma’i yang mampu menaklukkan sang khalifah dan kedua budaknya, yang bertindak sebagai juri dalam tantangan tersebut.
Al-Ashma’i datang dengan puisi Shaut Shafir al-Bulbuli. Agar tidak dikenali oleh khalifah, ia menyamar sebagai badui Arab dan menutupi wajahnya dengan tudung. Akibatnya, tidak ada seorang pun di istana yang mengenalnya. Tidak ada yang menyangka bahwa nama besar al-Ashma’i ternyata ikut serta tantangan yang digelar Khalifah al-Manshur.
Setelah berhasil meraih hadiah dan pergi meninggalkan istana, sang khalifah mulai merasa ada yang janggal, “Aku curiga badui Arab tadi adalah al-Ashma’i,” ujarnya. Akhirnya ia memerintahkan pengawalnya untuk mengejar dan membawa kembali badui Arab tersebut ke hadapannya. Ternyata benar, orang itu adalah al-Ashma’i (Cheikho t.t.:133).
Versi yang dikemukakan oleh Louis Cheikho dalam Majani al-Adab fi Hadaiq al-‘Arab sama persis dengan versi yang ditulis oleh Syamsuddin Muhammad bin al-Hasan al-Nuwaji dalam Halbah al-Kumait. Hal ini terjadi karena Cheikho memang mengutip kisah tersebut dari kitab Halbah al-Kumait, sebagaimana disebutkan dengan jelas di bagian akhir cerita. Namun, kedua kitab ini tidak menyebutkan secara spesifik siapa khalifah yang dimaksud dalam kisah tersebut. Keduanya hanya menggunakan redaksi “ba’dhul khulafa’” (salah seorang khalifah) untuk menarasikan kisah itu.
Berbeda dengan I’lam al-Nas Bima Waqa’ li al-Baramikah Ma’a Bani al-‘Abbas karya Muhammad Diyab al-Itlidi. Dalam buku yang mengisahkan banyak peristiwa keluarga Barmaki ini, al-Itlidi dengan tegas menyebut Khalifah al-Manshur dalam kisah yang berhubungan dengan asal-usul puisi Shaut Shafir al-Bulbuli itu.
Sementara itu, kitab al-Raudh al-Nadhir fi Tarjamah Udaba’ al-Ashr karya karya Ishamuddin al-Umari hanya menyebutkan bahwa puisi Shaut Shafir al-Bulbuli itu adalah karya al-Ashma’i, tanpa dibumbui narasi apapun. Namun, yang menjadi masalah adalah pernyataan Ishamuddin al-Umari bahwa pendapatnya itu didasarkan pada kitab al-Mustathraf karya Syihabuddin Muhammad bin Ahmad al-Absyihi. Padahal, sejauh penelusuran saya, kitab tersebut sama sekali tidak menyebutkan kisah atau klaim bahwa Shaut Shafir al-Bulbuli adalah karya Al-Ashma’i.
Para Tukang Dongeng
Baik al-Nuwaji maupun al-Itlidi menyajikan narasi asal-usul syair Shaut Shafir al-Bulbuli tanpa rujukan. Gaya mereka mengingatkan pada tukang dongeng (qashshashun) di abad pertengahan. Para tukang dongeng memang dikenal gemar mengarang cerita semenarik dan seunik mungkin, tanpa mengindahkan keabsahannya. Yang menjadi persoalan ketika dongeng itu dikaitkan dengan tokoh-tokoh faktual dalam sejarah, apalagi tokoh sekaliber Khalifah al-Manshur dan kritikus sastra besar bernama al-Ashma’i.
Biografi singkat al-Nuwaji, penulis kitab Halbah al-Kumait, hanya saya temukan dalam al-A’lam (al-Zirikli 2002: 88). Al-Nuwaji disebutkan memiliki banyak karya dalam bahasa dan sastra Arab. Hanya saja, ia kurang memperhatikan pentingnya mata rantai periwayatan, terutama dalam kasus puisi yang ia nisbatkan kepada al-Ashma’i. Nama berikutnya adalah al-Itlidi. Biografi penulis kitab I’lam al-Nas Bima Waqa’ li al-Baramikah Ma’a Bani al-‘Abbas ini juga tercantum dalam al-A’lam. Al-Zirikli menyebutnya sebagai qashshash, atau tukang dongeng (al-Zirikli 2002: 122).
Di bagian pengantar buku I’lam al-Nas, al-Itlidi mengakui bahwa dirinya merasa “tidak layak” untuk menyusun karya tersebut. Pengakuan ini mungkin dimaksudkan sebagai bentuk sikap tawaduk, yang lazim ditemukan dalam tradisi keilmuan Islam klasik. Namun, saya justru menangkapnya sebagai sebuah kejujuran yang dalam tentang keterbatasan kompetensinya. Alih-alih sekadar basa-basi, pernyataan ini seolah mengungkapkan kesadaran diri yang jujur akan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya.
سألني بعض الإخوان الموفقين ممن لا يسعني مخالفته، أن أجمع له شيئاً مما وقع في زمن الخلفاء المتقدمين من بني أمية، والخلفاء العباسيين. فأجبته لذلك مع علمي أني لست أهلاً لذلك
“Beberapa kolega yang baik—yang tidak mungkin aku tolak—telah memintaku untuk menghimpun sejumlah peristiwa yang terjadi pada masa para khalifah terdahulu dari Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Aku pun memenuhi permintaan itu meskipun aku menyadari bahwa aku tidak layak untuk melakukannya.” (al-Itlidi 2004: 9).
Setelah uraian ini, saya rasa dua nama lain yang karyanya terbit belakangan, yaitu Ishamuddin al-Umari dan Louis Cheikho menjadi tidak begitu penting untuk dibahas.
Fakta Sejarah
Untuk meruntuhkan narasi keempat kitab yang saya sebutkan sebelumnya, saya melakukan telaah historis yang cukup mendalam dengan melacak berbagai kitab biografi. Tujuan penelusuran ini untuk mengetahui apakah pernah terjadi interaksi langsung dan intens antara Khalifah al-Manshur dan al-Ashma’i. Telaah ini menjadi sangat penting karena ia akan menjadi penentu utama apakah syair Shaut Shafir al-Bulbuli karya al-Ashma’i atau bukan.
Dalam Siyar A’lam al-Nubala’, disebutkan bahwa al-Ashma’i lahir pada tahun 120-an Hijriah. (al-Dzahabi 1985:175–176). Namun, Al-Dzahabi tidak menyebutkan tahun kelahiran al-Ashma’i secara spesifik. Ia hanya menggunakan redaksi وُلِدَ سَنَةَ بضع وَعِشْرِينَ وَمِائَة (lahir pada tahun seratus dua puluh sekian), yang dalam bahasa Arab, kata بضع digunakan untuk menunjukkan bilangan antara 3 hingga 9. Dengan demikian, tahun 120-an yang dimaksud bisa merujuk pada tahun 123, 124, dan seterusnya hingga 129 H.
Berbeda dengan al-Dzahabi, Ibnu Qutaibah al-Dinawari menyebut tahun kelahiran al-Ashma’i secara spesifik, yaitu pada tahun 123 H. (al-Dinawari t.t.: 544). Sementara itu, Ibnu Khallikan tampaknya masih meragukan tahun kelahiran al-Ashma’i, dengan menyebutkan kemungkinan antara tahun 122 atau 123 H. Begitu pula dengan tahun wafatnya, yang disebutkan bervariasi antara tahun 216, 214, 215, 217 H. Menurut al-Khatib Abu Bakar al-Baghdadi, al-Ashma’i hidup selama 88 tahun. Namun tidak ada catatan pasti perihal tahun wafatnya (Khallikan t.t.: 175).
Selanjutnya mari kita beranjak kepada Abu Ja’far al-Manshur.
Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, penguasa kedua Daulah Abbasiyah, lahir pada tahun 95 H. Menurut al-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala’ (al-Dzahabi 1985b: 83), dan Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, pendapat ini adalah yang paling masyhur. Khalifah al-Manshur wafat pada usia 63 tahun, yaitu pada tahun 158 H. (Katsir 1991:459). Informasi ini juga didukung oleh al-Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa’ dan al-Thabari dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk.
Berdasarkan data di atas, jika kita mengambil tahun kelahiran Khalifah al-Manshur pada tahun 95 H. dan tahun kelahiran al-Ashma’i pada tahun 123 H., maka selisih usia antara keduanya adalah 28 tahun. Artinya, Khalifah al-Manshur lebih tua 28 tahun daripada al-Ashma’i. Tetapi jika tahun kelahiran al-Ashma’i adalah 122 H., maka selisih usia antara keduanya adalah 27 tahun.
Khalifah al-Manshur wafat pada tahun 158 H. Dengan demikian, jika al-Ashma’i lahir pada tahun 122 atau 123 H., maka Khalifah al-Manshur telah wafat sebelum al-Ashma’i mencapai usia 35 atau 36 tahun. Ini berarti interaksi langsung antara keduanya, jika pun ada, hanya mungkin terjadi di masa awal kehidupan al-Ashma’i, atau lebih tepatnya, jauh sebelum al-Ashma’i mencapai puncak ketenarannya sebagai sastrawan dan kritikus sastra. Karena di masa mudanya, al-Ashma’i mengembara ke kampung-kampung badui Arab yang masih terjaga kemurnian bahasa dan budayanya untuk menyerap pengetahuan mereka.
Keterpautan usia yang cukup signifikan (27–28 tahun) dan fakta bahwa Khalifah al-Manshur wafat sebelum al-Ashma’i mencapai usia matang menimbulkan pertanyaan penting, apakah mungkin telah terjadi interaksi langsung antara keduanya? Pertanyaan ini semakin relevan untuk dikemukakan mengingat kitab-kitab seperti Halbah al-Kumait, I’lam al-Nas Bima Waqa’ li al-Baramikah Ma’a Bani al-‘Abbas, dan Majani al-Adab fi Hadaiq al-‘Arab menyebutkan bahwa Al-Ashma’i adalah teman dekat dan teman diskusi Khalifah al-Manshur.
Biografi Khalifah al-Manshur yang ditulis oleh al-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala’ tidak menyebutkan adanya interaksi langsung antara al-Manshur dengan al-Ashma’i. Al-Dzahabi hanya mencatat bahwa al-Ashma’i muda pernah menjadi saksi atas satu peristiwa yang dialami oleh al-Manshur, yaitu saat sang khalifah naik mimbar untuk menyampaikan sebuah khotbah yang menggugah (al-Dzahabi 1985b: 84).
Selain itu, dalam biografi Khalifah al-Manshur, tidak ditemukan catatan yang menguatkan tentang daya hafalan sang khalifah yang luar biasa atau interaksinya yang intens dengan para penyair pada zamannya. Kedua hal ini jelas bertentangan dengan sumber-sumber yang telah saya sebutkan sebelumnya, yang menyebutkan bahwa Khalifah al-Manshur mampu menghafal puisi hanya dengan sekali dengar dan bahwa al-Ashma’i adalah teman dekat serta teman diskusinya.
Kontradiksi lain yang muncul dari sumber-sumber tersebut adalah klaim tentang kerelaan Khalifah al-Manshur untuk memberikan hadiah dalam jumlah yang sangat fantastis bagi penyair yang berhasil menaklukkannya. Padahal, seperti telah disinggung sebelumnya, Khalifah al-Manshur dikenal sebagai orang yang sangat kikir, bahkan dijuluki Abu al-Dawaniq karena sifat pelitnya. Sangat tidak masuk akal jika seseorang yang dikenal pelit tiba-tiba rela mengeluarkan kepingan-kepingan emasnya dalam jumlah besar untuk dihambur-hamburkan.
Puisi Shaut Shafir al-Bulbuli yang Problematik
Larik (bait) pertama puisi tersebut berbunyi:
صَوْتُ صَفِيْرُ البُلْبُلِ * هَيَّجَ قَلْبِيْ الثَّمِلِ
Kenapa kata الثَّمِلِ dibaca jar? Bukankah seharusnya ia dibaca الثَّمِلَا karena menjadi na’at dari kata قَلْبِيْ yang manshub karena maf’ul dari kata هَيَّجَ? Dalam ilmu Arudl dan Qafiyah, kasus ini tidak termasuk dharurah syi’ir (situasi di mana seorang penyair diperkenankan melakukan pelanggaran gramatikal sesuai dengan ketentuan yang berlaku).
Larik ini juga tidak termasuk cacat al-iqwa’ dalam ilmu Qafiyah. Cacat al-iqwa’ adalah ketidaksesuaian dalam rima (qafiyah) yang terjadi ketika dua huruf terakhir dari dua kata memiliki harakat (tanda baca) yang berbeda, tetapi tidak terlalu jauh perbedaannya. Contohnya adalah penggunaan kasrah (ـِ) dan dammah (ـُ) dalam kata “فوارسِ” (fawārisi) dan “مدارسُ” (madārisu). Perbedaan harakat ini dianggap sebagai kesalahan dalam sajak puisi Arab klasik karena mengganggu keselarasan ritme dan keindahan puisi. Larik tersebut bahkan lebih buruk dari unsur cacat yang dikenal dalam ilmu Qafiyah. Yang artinya, puisi Shaut Shafir al-Bulbuli tak lebih dari kengawuran yang secara nista dinisbatkan kepada al-Ashma’i.
Larik-larik berikutnya dari puisi Shaut Shafir al-Bulbuli juga tidak kalah problematik. Banyak cacat yang dapat diidentifikasi di sana-sini, meskipun tidak mungkin diuraikan secara detail dalam tulisan ini. Pada intinya, puisi tersebut sangat tidak pantas dinisbatkan kepada al-Ashma’i, yang oleh Imam Syafi’i dipuji dengan ungkapan, “Tidak ada seorang pun yang mampu menggambarkan (khazanah) orang Arab lebih indah daripada ungkapan al-Ashma’i.” (al-Dzahabi 1985a: 177).
Kesimpulan
Setelah menelusuri berbagai sumber dan menganalisis secara mendalam, dapat disimpulkan bahwa syair Shaut Shafir al-Bulbuli tidak pantas dinisbatkan kepada al-Ashma’i, seorang sastrawan dan kritikus sastra Arab terkemuka. Klaim bahwa puisi ini adalah karya al-Ashma’i, seperti yang disampaikan oleh Ust. Adi Hidayat dan beberapa sumber lain, tidak memiliki dasar historis yang kuat. Narasi yang menyebutkan interaksi langsung antara al-Ashma’i dan Khalifah al-Manshur, serta kisah tantangan terbuka bagi para penyair untuk menggubah puisi unik, lebih mirip dongeng yang disusun oleh para penulis belakangan seperti al-Nuwaji dan al-Itlidi, yang dikenal sebagai qashshash (tukang dongeng). Keduanya tidak menyertakan rujukan yang valid, dan gaya penulisan mereka cenderung mengutamakan daya tarik cerita daripada keakuratan fakta.
Dari sisi historis, terdapat ketidaksesuaian yang signifikan. Khalifah al-Manshur, yang lahir pada tahun 95 H., wafat pada tahun 158 H., sementara al-Ashma’i diperkirakan lahir antara tahun 122–123 H. Dengan selisih usia sekitar 27–28 tahun, interaksi langsung antara keduanya sangat tidak mungkin, mengingat al-Manshur wafat sebelum al-Ashma’i mencapai usia matang. Selain itu, biografi al-Manshur yang ditulis oleh al-Dzahabi tidak menyebutkan adanya hubungan dekat atau interaksi intens antara keduanya. Al-Dzahabi hanya mencatat bahwa al-Ashma’i muda pernah menjadi saksi atas suatu peristiwa yang dialami oleh al-Manshur, bukan sebagai teman dekat atau teman diskusi.
Dari aspek bahasa, syair Shaut Shafir al-Bulbuli mengandung banyak cacat gramatikal dan ketidaksesuaian dengan kaidah puisi Arab klasik. Larik-lariknya tidak memenuhi standar ilmu Arudh dan ilmu Qafiyah, bahkan tidak dapat dibenarkan sebagai dharurah syi’ir. Puisi ini lebih mencerminkan ketidaktahuan penulisnya terhadap kaidah bahasa dan sastra Arab, yang sangat bertolak belakang dengan reputasi al-Ashma’i sebagai seorang ahli bahasa dan sastra yang diakui bahkan oleh Imam al-Syafi’i.
Oleh karena itu, klaim bahwa Shaut Shafir al-Bulbuli adalah karya al-Ashma’i sama sekali tidak benar. Puisi ini hasil kreasi penulis belakangan yang menggunakan nama besar al-Ashma’i untuk suatu kepentingan tertentu. Sebagai penikmat sastra dan sejarah, kita perlu kritis dalam menerima narasi-narasi yang beredar, terutama yang tidak didukung oleh bukti historis yang ilmiah. Wallahua’lam.
Daftar Bacaan
- Cheikho, Louis. t.t. Majani al-Adab fi Hadaiq al-‘Arab. Vol. V. Beirut: al-Mathba’ah al-Katsulikiyyah.
- al-Dinawari, Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah. t.t. al-Ma’arif. Vol. IV. Kairo: Dar al-Ma’arif.
- al-Dzahabi, Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz. 1985a. Siyar A’lam Al-Nubala’. Vol. X. Beirut: Muassasah al-Risalah.
- al-Dzahabi, Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz. 1985b. Siyar A’lam al-Nubala’. Vol. VII. Beirut: Muassasah al-Risalah.
- al-Itlidi, Muhammad Diyab. 2004. I’lam al-Nas Bima Waqa’ li al-Baramikah Ma’a Bani al-‘Abbas. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
- Katsir, Abu Al-Fida’ Ismail bin Umar bin. 1991. al-Bidayah Wa al-Nihayah. Vol. XIII. Beirut: Maktabah al-Maarif.
- Khallikan, Abu al-Abbas Syamsuddin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Abi Bakr bin. t.t. Wafayat al-A’yan. Vol. III. Beirut: Dar Shadir.
- Musthafa, Syakir. 1983. al-Tarikh al-Arabi wa al-Muarrikhun. Vol. I. Beirut: Dar al-’Ilm Li al-Malayin.
- al-Nuwaji, Syamsuddin Muhammad bin al-Hasan. 1938. Halbah al-Kumait. Kairo.
- al-Umari, Ishamuddin Utsman bin Ali bin Murad. 1974. al-Raudh al-Nadhir fi Tarjamah Udaba’ al-Ashr. Vol. I. Mathba’ah al-Majma’ al-Ilmi al-Iraqi.
- al-Zirikli, Khairuddin. 2002. al-A’lam: Qamus Tarajim. Vol. VI. Beirut: Dar al-’Ilm Li al-Malayin.
Please login to comment