Esai

Memahami keagungan malam Nuzulul Quran

18 Apr 2022 11:30 WIB
1380
.
Memahami keagungan malam Nuzulul Quran Nuzulul Quran jatuh pada 17 Ramadhan, bertepatan dengan Lailatul Qadar.

Para pembesar Quraisy sangat menyadari bahwa ayat-ayat al-Quran memiliki pengaruh yang kuat bagi mereka yang mendengarkannya. Mereka melihat hal itu dengan jelas karena bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Quran merupakan spesialisasi ilmu yang mereka kuasai dan junjung tinggi. Menurut mereka, karya sastra adalah sakral.

Tetapi al-Quran adalah hujjah balighah. Tidak ada kalam satu pun di dunia ini yang mampu mengalahkan pamor dan keagungannya. Bahkan hati Abu Jahal melunak kepada Rasulullah Saw setelah mendengar al-Quran dari lisannya. Ia menyadari betul kebenaran al-Quran meskipun permusuhan masih terus ia lancarkan kepada Rasulullah Saw.

Karena wujud al-Quran ini begitu indah, para pembesar kafir Quraisy pun melakukan kesepakatan makar, bahwa: “Mari kita melakukan intrik bersama. Asalkan tidak ada yang mendengarkan firman Allah Swt, al-Quran, maka masyarakat kita tidak akan terpengaruh oleh panggilan dakwah Muhamad, dan Islam tidak akan mudah menyebar!”

Apakah taktik mereka ini sukses? Jawab: gagal total!

Bukti kegagalannya adalah, orang-orang biasa dan banyak dari pembesar mereka sendiri sama-sama suka menguping saat-saat singkat di mana Rasulullah Saw melantunkan al-Quran.

Tentunya sangat aneh, mereka yang mengambil keputusan itu, tapi mereka sendirilah yang menentangnya. Mereka melarangnya di depan umum, tapi mereka justru melakukannya secara rahasia, yang menegaskan bahwa Tuhan yang Maha Kuasa menghancurkan taktik dan tipu muslihat mereka yang ingin mencegah penyebaran agama Islam yang rahmatan lil alamin itu.

Di antara tokoh-tokoh Quraisy terkemuka, di antaranya Abu Jahal, Abu Sufyan dan al-Akhnas, mereka bahkan berangkat secara sembunyi-sembunyi, masing-masing berangkat secara terpisah, tanpa sepengetahuan dua orang lainnya, ke rumah Rasulullah saw. Masing-masing mengambil tempat khusus sekiranya tidak ada orang lain yang melihatnya. Tapi tiba-tiba mereka malah bertemu dan saling menatap satu sama lain, keheranan.

Rupa-rupanya mereka bertiganya suka mendengarkan bacaan Rasulullah Saw sampai fajar menyingsing. Kemudian setelahnya mereka semua pun bubar secara diam-diam.

Dalam perjalanan pulang, terjadi pertemuan di antara mereka di mana mereka menyalahkan satu sama lain dan saling meminta untuk tidak kembali lagi ke kediaman Rasulullah Saw.

Tetapi pada kenyataannya usaha kuping-menguping al-Quran ini terulang pada malam kedua dan ketiga. Mereka bertiga melakukan hal yang sama dan mengatakan hal yang sama pula saat bubaran, kecuali bahwa pada malam ketiga mereka berkata: "Kami tidak akan pergi sampai kami benar-benar berjanji untuk tidak lagi kembali ke rumah itu.”

Mereka mengetahui dengan baik nilai al-Quran yang mulia, paham dengan sejauh mana kebenaran dan kekuatannya, tetapi mereka tetap tidak mau mengimaninya karena sombong akibat jiwa yang sudah gelap dan hati yang keras.

Begitulah, al-Quran memang tidak seperti kalam pada umumnya, penurunan dan wujudnya bahkan tidak mirip sama sekali dengan syair-syair “transendental” yang cukup familiar dalam tradisi kesusastraan Arab jahiliah kala itu. Dalam kesusastraan Arab jahiliah memang ada beberapa penyairnya yang menggubah puisi dari para jin, dari alam transendental, seperti al-Walid bin al-Mughirah.

Karena kepakarannya yang hebat dan langka, al-Mughirah kemudian didapuk oleh kaumnya untuk mendatangi Nabi dengan niat menguji. Tapi tak disangka ia malah kembali kepada kaumnya dengan keyakinan yang mencengangkan: “Demi Allah! Tidak ada seorang pun di antara kamu yang lebih mengetahui daripada aku tentang syair, rajaz, kasidah dan syair-syair jin. Demi Allah! Sedikit pun tidak serupa apa yang diucapkannya (al-Quran) itu dengan syair, rajaz, atau kasidah. Sesungguhnya ia dapat menghancurkan apa yang ada di bawahnya. Sesungguhnya ia amat tinggi dan tidak dapat dikalahkan.”

Abu Jahal yang mendengar langsung laporannya sontak kaget, “Demi Allah, kaummu tidak akan puas sebelum kamu sendiri menjelaskannya kepada mereka.” Tetapi entah karena alasan apa, setelah cukup lama berpikir al-Mughirah malah mengingkari keyakinannya sendiri, ”Tidaklah al-Quran ini melainkan sihir yang dipelajarinya dari orang lain.”

Sungguh aneh. Mereka takjub dengan kebenaran al-Quran tapi mereka tidak mau mengimani risalahnya. Alasannya tak lain yaitu karena kesombongan diri mereka sendiri. 

Dari kisah lucu di atas kita setidaknya mendapatkan satu alasan penting tentang perlunya merayakan ‘Nuzulul Quran’ bagi umat Muslim sedunia.

Makna Nuzulul Quran

Kata nuzul secara harfiah bermakna turun. Nuzulul Quran menurut pendapat yang masyhur adalah istilah yang merujuk kepada peristiwa penting penurunan al-Quran secara keseluruhan yang diturunkan dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di langit dunia. Setelah itu, dari langit dunia, al-Quran diturunkan ke bumi secara bertahap sesuai kebutuhan selama 23 tahun.

Awal mula turunnya al-Quran menurut qaul yang rajih adalah tanggal 17 Ramadan, dan di malam ketika turunnya ini pula dipercayai oleh sebagian ulama bertepatan dengan Lailatul Qadar.

Kemudian yang namanya 'turun', pasti sirkulasi arahnya dari atas menuju ke bawah. Oleh sebab itu, tidak ada yang namanya istilah 'turun ke atas'. Sebetulnya bisa saja air, misalnya, diturunkan dari bawah ke atas memakai sanyo. Atau pakai lift. Tapi prosesi seperti itu bukan 'nuzul' dalam artikulasi bahasa Arab baik secara harfiah maupun maknawi.

Hal tersebut mengisyaratkan suatu makna bahwa kebenaran al-Quran, hidayah, rahmat, rahasia-rahasia, dan hikmah-hikmahnya bisa diterima seorang hamba ketika indra, akal, hati dan mata hatinya dalam keadaan 'diturunkan'.

'Diturunkan' di sini bukan berarti fakultas-fakultas kemanusiaan itu tidak dipakai, tapi justru malah dimaksimalkan potensinya, yakni dengan melakukan semacam kontemplasi batin.

Kita tahu bahwa pikiran pada umumnya suka mengkotak-kotakkan sesuatu, suka menyimpulkan, suka memberi sekat dan aturan, suka mengkristalkan hal-hal yang sebenarnya masih sangat luas. Semua itu pada dasarnya untuk memudahkan pola hidup manusia itu sendiri. Dan akal memang diciptakan seperti itu. Agar manusia bisa menjalankan titahnya sebagai khalifah di bumi yang bisa memimpin, mengatur dan merawat alam.

Tapi ada satu kelemahan batin dalam prosesi 'pengkristalan makna' itu, yakni akan ada banyak potensi-potensi ilmu yang tereliminasi dari proses penyimpulan yang dilakukan oleh akal pikiran. Hal ini tidak dapat dihindari.

Ia tidak bisa memikirkan segalanya, tapi ia bisa menerima hal-hal yang berkemungkinan benar. Jadi, potensi akal ini sangat memungkinkan untuk diperluas dan diperdalam kemampuannya dari kondisi normalnya. Inilah maksud dari istilah 'diturunkan' itu.

Banyak ulama terdahulu yang mencoba mendedah secara mendalam fakultas indra kasar dan indra halus yang ada pada manusia (akal, hati dan mata hati; atau jasad, jiwa dan ruh). Seperti misalnya dalam al-Aql wa fahmu al-Quran karya al-Muhasibi, Tahdzib Akhlaq karya Ibn Miskawaih, beberapa karya Imam Ghazali seperti Kimiya Sa'adah dan Misykat Anwar, dan lain-lain.

'Dalam kondisi turun' di sini juga berarti ia harus bersikap sumeleh total (sumeleh: bahasa Jawa), yakni bersikap rendah hati, tidak sombong, tidak riya dan tidak angkuh, sebisa mungkin ikhlas yang berarti hatinya benar-benar sujud. Jadi, tidak hanya jidatnya saja yang sujud, tetapi hatinya juga ikut bersujud (sujudul qolbi).

Karena al-Quran adalah Kalam yang sangat agung, Kalamullah, yang tentunya secara tingkatan ia berada di atas segala tingkatan kalam, ia adalah segala-galanya, ia adalah titah Tuhan. Sedangkan apa yang ada di atas hanya bisa turun ketika wadahnya bertempat di bawahnya. Kalau wadahnya sama-sama ada di atas, bagaimana mungkin ia dapat menerima apa yang diturunkan ke bawah? Justru luapan maknanya malah akan tercecer dan ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali kerugian.

Jadi, Nuzulul Quran berkaitan erat dengan jiwa-jiwa yang disucikan oleh Tuhan. Semakin seorang hamba menundukkan dirinya kepada Tuhan, maka artikulasi nuzul akan semakin deras mengucur atasnya selayaknya air terjun yang tinggi dengan debit airnya yang deras.

Dan Baginda Nabi waktu pertama kali menerima wahyu al-Quran ditengarai sedang dalam kondisi berkhalwat di gua Hira. Ia beribadah sendirian di sana. Tentunya ada pelajaran yang sangat penting di sini, minimalnya menyoal mekanisme turunnya makna-makna dan teofani al-Quran kepada hamba-hamba yang dikehendaki oleh Allah Swt setelah Baginda Nabi wafat.

Sebelum diangkat menjadi rasul, Baginda Nabi memang gemar berkhalwat, beribadah kepada Allah Swt, membersihkan pikiran, hati dan mata hatinya, meskipun ia sendiri pada kenyataannya seorang nabi yang maksum dan sudah bersih lahir batinnya. Tapi seolah ia ingin meneladankan sesuatu yang sangat penting di sini.

Tapi amalan-amalan jasadiyah dan ruhiyah Baginda Nabi sebelum diangkat menjadi Rasul itu tiba-tiba tertutup dan seolah sengaja disembunyikan. Barangkali agar umatnya tidak ada prasangka sedikit pun bahwa kenabian dan kerasulan merupakan kedudukan yang bisa diusahakan dengan amalan-amalan tertentu. Ya, memang seperti itulah yang seharusnya. Kenabian adalah hak mutlak Allah Swt, yang berarti makhluk mana pun tidak ada daya dan upaya dalam masalah ini.

Amalan-amalan Baginda Nabi prakenabian dan prakerasulan sangat luar biasa. Tapi saya sendiri juga tidak tahu. Apa yang saya ketahui adalah, bahwa arketipe 'Nuzulul Quran' tersebut, paling banyak makna esoterisnya diturunkan kepada sufi-sufi besar seperti Syekh as-Sulami, Imam Qusyairi, Syekh Abu Nashr Ruzbahan as-Syirazi, Syekh Akbar Ibnu Arabi dan lain-lain. Karena merekalah golongan ulama yang paling sering berkhalwat, puasa batin, sujudul qalbi, shalat daim, sima', talaqqi dan istilah-istilah khusus lainnya yang barangkali hanya mereka yang tahu.

Tapi sayangnya mereka tidaklah maksum, sehingga terkadang tanpa sengaja terjebak dengan imajinasi-imajinasi mereka sendiri, yang tentunya hasil yang diperolehnya harus diseleksi kebenarannya oleh pembacanya dengan ketat. Lagi-lagi akal akan mengambil peran positifnya di sini. Wallahu a’lam.

Selamat merayakan Nuzulul Quran.

Bumi Sepuh Hafidzahullah
Bumi Sepuh Hafidzahullah / 11 Artikel

Nama aslinya Syamsudin Asyrofi, aktifis Lakpesdam NU, mahasiswa S2 di Universitas Al-Azhar Mesir jurusan Tafsir dan Ulumul Quran dengan konsentrasi tesis bertemakan tafsir sufistik dalam bingkai sosial.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: