Artikel

Ulama Mencari Ilmu: Dari Patah Tulang hingga Minum Air Kencing Sendiri

25 Sep 2020 05:00 WIB
2024
.
Ulama Mencari Ilmu: Dari Patah Tulang hingga Minum Air Kencing Sendiri

Sifat gigih para ulama masa lalu dalam mencari ilmu patut diacungi jempol. Medan berat, jarak yang jauh, hingga sakit dalam perjalanan tak pernah memadamkan semangat mereka.

Lantas, apa sebenarnya landasan mereka sehingga rela mengorbankan nyaris segalanya demi setitik ilmu itu? Bahkan, hanya untuk mencari sebuah hadis, ada ulama yang rela berjalan kaki hingga ribuan kilometer.

Dalam kitab Adabul Muridin karya Syekh Abu Najib Diyauddin As-Suhrowardi, ada perjalanan yang apabila ditunaikan oleh seseorang akan diganjar keutamaan yang besar oleh Allah SWT.

Di antaranya adalah perjalanan untuk jihad, haji dan ziarah ke makam kanjeng Nabi Muhammad SAW. Selain itu, perjalanan menuntut ilmu juga mempunyai nilai keutamaan yang sama.

Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai makna kata “rijal” dalam firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 37,

 رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَٰرَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ

Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah,”

Beliau menjawab,

هُمُ الَّذِيْنَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ

Adalah mereka yang melakukan perjalanan di atas bumi Allah SWT, semata-mata untuk mencari karunia-Nya.”

Para ulama terdahulu telah mengamalkan laku ini dengan niat kuat dan tekad bulat. Berkat kegigihan mereka dalam mencari ilmu, manfaat besarnya masih terasa sampai saat ini dan esok hari.

Meski jasad mereka tiada, namun jiwanya tetap hidup dan menghidupi. Merekalah yang semakin hidup setelah mati, sebab namanya selalu disebut-sebut, dihadiahi doa dan karya-karyanya senantiasa dingajikan di seluruh penjuru dunia.

Barangkali hal di atas punya kemiripan makna dengan slogan kebesaran House of Greyjoy dalam film berseri Game of Throne: What is dead may never die, apa yang telah mati justru semakin hidup.

Jarak tak jadi soal

Seorang alim dari Madinah bernama Sa’id ibn al-Musayyab sudi keluyuran berhari-hari dan bermalam-malam hanya untuk mencari satu hadits saja. Keterangan ini ditulis dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah milik Ibn Katsir.

Sementara Abu al-‘Aliyah, salah seorang tabiin ternama tanpa pamrih sedikitpun berangkat dari Basrah ke Kota Madinah demi sebuah riwayat dari sahabat Rasulullah SAW.

Padahal, jarak antar wilayah tersebut apabila dikalkulasi sekitar 1.104 km. Perkiraan itu seperti kita berjalan kaki dari Banten ke Bali.

Pakar fikih Ahmad bin Hamdan al-Hambali di dalam kitabnya Sifatul Fatwa wal Muftiy wal Mustaftiy menceritakan tentang travelling Imam Ahmad dalam mencari ilmu dan sunnah (hadits).

Selama hidupnya beliau sudah menginjakan kaki di berbagai daerah, mulai dari Syam, Swahili, Magrib, Al-Jazair, Mekah, Madinah, Hijaz, Yaman, Irak, Persia, Khurosan, dan beberapa penjuru lainya hingga kembali lagi ke Baghdad.

Selain itu, dalam kitab Tahdzibu at-Tahdzib karangan Ibn Hajar, Imam Ahmad bercerita sendiri tentang pengalamnya tersebut: “Aku sudah menunaikan haji sebanyak lima kali, tiga dari itu aku lakukan dengan jalan kaki.“

Bahkan berdasarkan penuturan Ibnu al-Jauziy dalam kitab Shoydul Khotir, Imam Ahmad telah mengembara dua kali putaran hingga beliau mengumpulkan musnadnya.

Patah tulang, minum air kencing, hingga kencing darah

Hikayat ini diceritakan oleh Abu Abdurrohman an-Nahawandi, dia menulis dari seribu guru yang terpercaya hingga patah tulang. Kesaksian lain dari Ibn Hamzah juga menyebutkan bahwa Ya’qub bin Sufyan sudah melakukan perjalanan selama 30 tahun lamanya.

Dalam perjalanannya mencari hadits, Ibn Khirosy al-Marwaziy menjumpai aral gendala yang begitu menyedihkan. Berada di tengah padang pasir yang sepi nan terbuang, dahaganya yang tak tertolong terasa sudah di ujung ubun-ubun dan mencekik lehernya.

Mau tidak mau ia mesti menemukan air yang bisa diminum. Dengan legowo, dirinya pun meminum air kencingnya sendiri sebanyak lima kali demi keselamatan nyawanya.

Mungkin akibat kondisi padang pasir yang begitu terik dan menyengat, Muhammad ibn Thohir al-Maqdisiy dalam pengembaraannya mencari hadits, ia sampai mengalami nasib yang tak kalah mengibakan.

Setiap kali dirinya kencing, kemaluannya terasa nyeri yang teramat karena darah yang keluar bersamaan dengan air seninya. Tetapi tidak sedikitpun ia ragu atas pertolongan Allah dan bersabar atas ujian yang tengah menimpa.

Walhasil, bagaimanapun juga travelling, kluyuran, ngupret atau sejenisnya, lalu bertemu dengan syaikh (guru) secara langsung itu punya kedudukan penting bagi khazanah keilmuan, peradaban dan manusia itu sendiri.

Menurut Ibn Khaldun, keluyuran itu penting karena dengan begitu seseorang bisa menambah kesempurnaan dalam belajar, mendulang nilai hikmah, dan menjumput teladan akhlak dari siapa saja yang ia jumpai.

Lebih-lebih apabila dia sampai di titik talaqqi dengan masayikh, secara otomatis ia akan memperoleh ketangkasan (malakah) juga ilmu yang menancap kuat di hati (rusukh).

Akan menjadi fatal jika seorang ulama ditanya tentang fatwa, tetapi selama kurun hidupnya ia tidak pernah ke mana-mana.  Satu pertanyaan yang sama, akan memiliki perincian jawaban yang berbeda, tergantung kondisi dan letak geografis daerah masing-masing. Sebab satu produk hukum A di negara X belum tentu cocok diaplikasikan di negara Y, begitu juga sebaliknya.

Maka tak heran jika ada kawan yang berkata, “Eaalah...kopimu kurang pait, lungomu kurang adoh..” untuk meyakinkan temanya yang super kuper, kolot, dan ngotot itu.

Maksudnya, keluyurannya masih kurang jauh, dan kopi yang diseduh masih encer. Ini adalah analogi bagi mereka yang belum tahu dunia luar rupa ragamnya seperti apa.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: