Sejak kecil, Imam
Muhajir tumbuh dalam asuhan dan didikan kedua orang tuanya, dalam lingkungan
keluarga yang penuh dengan keilmuan, kemuliaan, serta keistimewaan. Imam
Muhajir mengais berbagai ilmu seperti; hadist, tafsir, fikih, sastra, sejarah
dan lainya dari berbagai pembesar ulama di saat itu.
Masa Imam Muhajir
tenar dengan pendidikan dan disiplin keilmuan yang bermacam macam, seperti;
ilmu syariah, bahasa, filsafat, ilmu falak, sastra, tasawuf, matematika dan
lainnya. Di saat itu juga, berbagai fitnah, pertempuran, perang pemikiran dan
pertempuran militer sedang berkecamuk dengan dahsyatnya. Para pelajar
berpencar-pencar ke berbagai tempat, keadaan mencekam seluruh penghuni kota.
Imam Muhajir
merupakan sesepuh dari keturunan Bani Alawiyin. Jasa yang beliau berikan kepada
anak cucunya şangatlah besar. Tempat kelahiran dan kekayaan rela beliau
tinggalkan demi menyelamatkan akidah keluarganya. Nasab Imam Muhajir bagaikan
mentari yang memancarkan cahaya dengan begitu terangnya.
Nama
lengkap beliau adalah Ahmad al-Muhajir bin Isa
an-Nagib bin Muhammad bin Ali al Uraidi bin Ja’far al-Shadik bin Muhammad
al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Imam Husein bin Imam Ali bin Abi Thalib,
suami Sayyidah Fatimah Az- Zahra, putri Rasulullah Saw.
Irak, tepatnya di
kota Bashrah, tempat beliau dilahirkan dan dibesarkan. Meskipun masih terjadi
perbincangan mengenai tahun kelahiran Imam Muhajir di lisan para sejarawan.
Sayyid Muhammad Diya’ dalam kitabnya, Al-Imam al-Muhajir menyebutkan
bahwa lahirnya Imam Muhajir kira-kira tahun 273 H.
Hal ini berbeda
dengan apa yang dikemukakan oleh Sayyid Salim bin Ahmad bin Jindan bahwa, Imam
Muhajir pernah belajar dari Imam an-Nabilisi al-Bashri ketika berumur 4 tahun,
yang berarti bahwa, Imam Muhajir dilahirkan tahun 279 H.
Ada yang menulis
260H sesuai dengan keterangan Habib Zein bin Sumaith dalam kitabnya Al-Manhaj
as-Sawi. Abdullah bin Nuh juga memberi redaksi
berbeda, beliau memaparkan bahwa, Imam Muhajir dilahirkan pada malam Jum at, 13
Jumada al-Ula, 214 H. Alhasil, belum ada kejelasan yang pasti mengenai kapan
beliau dilahirkan.
Revolusi Zanji
dimulai tahun 225 H pada masa Khalifah Abbasi al-Muhtadi yang menyebabkan
petaka dan ketakutan bagi warga Kota Bashrah, Irak. Disusul datangnya fitnah
Qaramithah pada tahun 278 H yang dipimpin oleh seorang laki-laki bernama Yahya
bin Al-Mahdi di Bahrain.
Pada
waktu
itu, Kota Bashrah kehilangan keelokan dan keeksotisannya, ketenangan pun lenyap
meninggalkannya. Hal itu bermula semenjak Imam Muhajir masih muda dan berlanjut
hingga memasuki usia dewasa. Ketika Bashrah tak lagi bersahabat, Imam Muhajir
mulai mencari tempat untuk menyelamatkan para keturunannya.
Imam Muhajir beserta
para rombongannya yang terdiri dari sanak keluarganya menuju Hijaz melewati
Syam. Karena jalur yang biasa digunakan dari Irak menuju Hijaz sedang dalam
keadaan genting di sebagian tempat peristirahatan sudah rusak, tanda tanda
petunjuk arah juga tak lagi terpampang.
Rombongan Imam Muhajir
berisi tujuh orang lmam al-Muhajir Ahmad bin Isa, istri beliau Zainab putri
Abdullah bin Hasan al Uraidi, Abdullah (putra Imam al-Muhajir), Ummul Banin
putri Muhammad (istri Abdullah bin Ahmad), Ismail bin Adbdullah bin Ahmad (yang
dijuluki al-Bashri), Muhammad bin Sulaiman bin Ubaidillah (tetua para habaib
Ahadilah), Ahmad al-Kudaimi (petuah para habaib Al-Kudaim atau Bani Kudaim),
dan para pengikut Imam al-Muhajir yang berjumlah 70 orang.
Al Habib Abdullah
bin Alawi Al–Haddad telah memberikan
ungkapan yang sangat indah dalam sebuah qosidahnya mengenai mereka :
Beliau (Ahmad bin Isa) menjaga diri dari duniawi,
berhijrah berlari
Menuju Allah dan menghindar dari kejadian yang sangat
berbahaya.
Dari kota Basrah yang hijau dan rindang beliau
mengarungi berbagai desa
Di sana beliau juga mengalami berbagai cobaan yang
sangat berat
Hingga sampailah di lembah yang penuh barokah ini lalu
beliau rela.
Dan menancapkan paku-paku kemahnya untuk tinggal di sini.
Akhirnya beliau menetap dan bermukim di sini.
Dengan keturunannya yang terkendalikan dengan pendidikan
Kebaikan, ketakwaan, budi pekerti yang luhur
Sifat-sifat terpuji yang menyamai orang-orang yang mulia
itu.
Berkat mereka lembah ini menjadi sentosa, makmur.
Aman dan terjaga
tanpa diragukan sedikitpun.
Pada tahun 317 H,
rombongan sampai ke Madinah al–Munawarah
dan berdiam selama setahun. Dan pertengahan tahun 318 H, rombongan menuju
Makkah untuk melaksanakan ibadah haiji. Di sanalah, Imam al-Muhajir beserta
rombongannya bertemu dengan para jamaah haji dari Tuhaim dan Hadramaut. Mereka
penduduk Hadramaut memberi tahu fitnah Khawarij yang sedang mereka alami.
Mereka juga meminta Imam al Muhajir untuk pergi ke Hadramaut bersama-sama.
Seusai melaksanakan ibadah haji, Imam al-Muhajir bersama rombongan bergerak ke Hadramaut
sebagai kota pilihan. Tempat yang pertama beliau singgahi adalah Jubail yang
terletak di lembah Dau’an. Tak berselang lama, beliau pindah ke Hajrain dan
menetap di sana untuk beberapa waktu. Kemudian beliau melanjutkan Perjalanannya
menuju daerah Husaisah dan menetap di sana hingga akhir hayatnya.
Sebagian referensi
menyebutkan beberapa faktor perpindahan Imam Muhajir;
·
Suasana
politik yang meruncing di Bashrah dan menyeluruh seantero Irak. Pemerintah
Abbasiyah menerima pertentangan dan serangan dari golongan pemberontak seperti
kaum Qaramithah dan lainnya.
·
Timbulnya
berbagai fitnah, bencana dan kedengkian di kalangan masyarakat Irak dalam
masalah agama dan dunia.
·
Berlakunya
kerusakan akidah dan menularnya kegelapan bid’ah serta berlaku penentangan
terhadap sunnah dan para pendukungnya.
·
Berlakunya
pengkhianatan terhadap golongan Alawiyin, dan beratnya berbagai tekanan yang
mereka rasakan.
Habib Ali bin Abu
Bakar As-Sakran menyebutkan dalam Al-Barqah al-Masyiqah sebagai berikut:
Berkat hijrah beliau
(Imam Muhajir ke Hadramaut) selamatlah anak cucunya dari berbagai kerusakan
akidah, fitnah, kegelapan bid’ah, penentangan terhadap sunnah dan pengikutnya.
Berkat hijrah tersebut, mereka selamat dari kecenderungan untuk mengikuti
berbagai keyakinan Syiah,
yang sangat buruk, yang melanda sebagian besar para keturunan Rasulullah Saw.
yang berada di Irak.
Para cucu Rasulullah
Saw di Irak terkena fitnah, mungkin karena mereka tetap tinggal di sana. Adapun
anak cucu al-Imam Syihabuddin Ahmad bin Isa yang tiba di Hadramaut, dan
kemudian menetap di Tarim, maka mereka adalah cucu Rasulullah yang sunni
(berakidah Ahlus Sunnah wal Jamaah) serta berakhlak mulia.
Dengan
kerja keras, susah payah, dan penuh kesabaran Imam Muhajir berhasil membangun
metode dakwah dengan caranya sendiri. Dan madzhab Ahlussunnah telah berhasil
ditanamkan di hati masyarakat Hadramaut. Kemudian beliau kembali memenuhi
panggilan-Nya pada tahun 345 H / 956 M dan dimakamkan di daerah Makdam,
Husaisah, Hadramaut, yang masih tetap menjadi tujuan utama para peziarah hingga
sekarang.