Ibadah puasa mempunyai ragam hukum yang berbeda-beda, tergantung bagaimana konteksnya.
Menurut habib Hasan bin Ahmad Al-kaff dalam Al-taqrirat Al-sadidah fi al-masail al-mufidah, puasa itu bisa menjadi wajib, haram, sunnah dan makruh.
Puasa apa saja yang dihukumi demikian? Berikut adalah klasifikasinya:
1. Puasa wajib
Puasa dihukumi wajib dalam 6 konteks, yaitu sebagai berikut:
a. Puasa bulan Ramadhan.
b. Puasa qadha (mengganti puasa di bulan Ramadhan yang bolong, baik karena sakit atau haid).
c. Puasa kafarat, yakni puasa yang dilakukan dalam rangka memenuhi konsekuensi suatu perbuatan. Misalnya puasa kafarat karena dzihar (menyamakan istri dengan ibu, yang dalam tradisi Arab dianggap sebagai talak), membunuh, atau bersetubuh di siang hari Ramadhan. Puasa kafarat dari ketiga perbuatan ini, wajib ditempuh selama 2 bulan.
d. Puasa ketika haji atau umrah, sebagai ganti dari menyembelih hewan dalam rangka membayar fidyah (tebusan atas pelanggaran ketika nusuk).
e. Puasa yang diperintahkan oleh pemerintah di masa paceklik. Jadi puasanya dalam rangka istisqa’ (meminta hujan kepada Allah).
f. Puasa nazar, yakni puasa yang dilakukan karena adanya janji ketika meraih sesuatu. Contohnya, ketika saya diwisuda sebagai mahasiswa terbaik, maka saya akan berpuasa selama 3 hari. Jika yang diinginkan tercapai, maka ia wajib untuk berpuasa. Dan berpuasanya tidak harus runtut (tatabu’), kecuali ketika nazar mengucapkannya secara spesifik.
Nazar ini hanya dalam ranah ibadah sunnah atau mubah. Konsep nazar tidak bisa diterapkan dalam ranah hukum wajib dan haram. Misalnya, saya nazar ketika mendapatkan pekerjaan, saya akan shalat setiap hari, atau akan merayakannya dengan pesta miras. Yang demikian tidak bisa, sebab nazarnya tidak sah, karena yang dinazari adalah perkara wajib atau haram.
2. Puasa sunnah
Puasa sunnah dibagi menjadi 3 macam, yaitu sebagai berikut:
a. Puasa sunnah yang pelaksanaannya tahunan.
Antara lain: puasa di hari Arafah (9 Zulhijah) bagi selain orang yang haji, puasa di tanggal 9 (biasa disebut dengan puasa tasu’a), 10 (dikenal dengan istilah Asyura’), dan 11 bulan Muharram, puasa 6 hari di bulan Syawal, puasa di Asyhur al-hurum (bulan-bulan yang mulia, yakni di bulan Muharram, Rajab, Zulqa’dah dan Zulhijah), 10 hari awal di bulan Zulhijah (dari tanggal 1-9, pada tanggal 8 dzulhijjah puasanya disebut dengan puasa tarwiyah, dan di tanggal 9 disebut dengan arafah), dan lain-lain.
b. Puasa yang pelaksanaannya bulanan.
Antara lain: Puasa Ayyam al-bid, yakni puasa di setiap tanggal 13, 14, dan 15. Dan Puasa Ayyam al-sud, puasa di tanggal 28, 29, dan 30.
c. Puasa yang pelaksanaannya mingguan.
Antara lain: puasa di hari Senin dan Kamis.
Adapun puasa sunnah yang paling afdhal adalah puasa seperti puasanya Nabi Daud As, yakni 1 hari puasa, 1 hari tidak. Misalnya, senin puasa, selasa tidak, Rabu puasa lagi, dan kamis tidak. Demikian pula seterusnya.
3. Puasa makruh
Antara lain: Puasa di hari Jumat saja, Sabtu saja dan Ahad saja. Jadi tidak diperkenankan menyendirikan hari tersebut. Agar tidak menjadi makruh, maka harus disambung dengan hari lainnya, (misal puasa di hari Kamis dan Jumat, Jumat dengan Sabtu, Jumat dengan Minggu, atau Sabtu dan Minggu) atau sekalian puasa di 3 hari itu, maka hilanglah hukum makruhnya.
Kemudian puasa makruh lainnya adalah puasa dahr (yakni puasa terus menerus tanpa adanya hari libur, jika puasa Daud ada liburnya, maka tidak dengan puasa dahr) bagi orang yang dikhawatirkan akan mendapatkan bahaya ketika melakukannya atau ia akan kehilangan perkara sunnah yang sangat dianjurkan jika melakukan puasa dahr.
4. Puasa haram
Puasa yang dihukumi haram ini dibagi menjadi 2 macam, bila ditinjau dari sisi sahnya puasa. Demikian perinciannya:
a. Haram tapi sah.
Yaitu puasanya istri yang tanpa adanya izin dari suami dan puasanya seorang budak atau hamba sahaya tanpa adanya izin dari majikannya.
b. Haram dan tidak sah.
Puasa yang dihukumi demikian ada 5 macam, yaitu: puasa di hari raya Idul Fitri (tanggal 1 bulan Syawal), Idul Adha (tanggal 10 bulan Zulhijah), puasa di hari tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 bulan Zulhijah), puasa di separuh akhir bulan Sya’ban, yakni mulai tanggal 16- akhir bulan Sya’ban. Kemudian puasa di hari syak, yakni puasa di tanggal 30 Sya’ban ketika masyarakat sedang ru’yat al-hilal (memantau bulan, apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau tidak) atau yang menyaksikan bulannya adalah orang yang tidak diterima persaksiannya seperti orang perempuan dan anak kecil.
Lantas bagaimana solusi bagi mereka yang ingin berpuasa di akhir bulan Sya’ban akhir dan hari syak? Habib Hasan bin Ahmad Al-kaff menyatakan bahwa boleh puasa di kedua waktu tadi, tapi ketika berada di 3 keadaan berikut, yakni:
1. Boleh puasa ketika puasanya merupakan puasa wajib, seperti puasa qadha (bahkan boleh melakukannya dalam rangka qadha puasa sunnah), kafarat dan nazar.
2. Boleh puasa bagi orang yang punya kebiasaan (wirid) berpuasa senin dan kamis. Ketika tanggal 30 bertepatan dengan hari Senin atau Kamis, maka bagi orang yang punya kebiasaan puasa Senin Kamis, ia tidak terkena hukum haram puasa di hari syak. Kebiasaan ini dihitung ketika ia sudah melaksanakannya selama 1 kali, yakni sebelum tanggal 30 ia sudah puasa Senin dan Kamis satu kali.
3. Boleh puasa di separuh akhir nisfu Sya’ban, ketika di tanggal 15 Sya’ban ia puasa, maka ia boleh puasa di tanggal 16. Demikian seterusnya, namun jika ada 1 hari yang bolong, semisal pada tanggal 17 ia tidak puasa, maka haram baginya untuk berpuasa di sisa bulan Sya’ban, yakni dalam contoh tadi dimulai dari tanggal 17 sampai akhir.
Demikianlah pengetahuan umum mengenai puasa dalam 4 hukum. Keterangan ini disarikan dari Taqrirat Al-sadidah, h. 434-437, semoga kita diberi kekuatan bisa melaksanakan puasa sunnah, dan amal ibadah wajibnya diterima. Amin ya rabb.