Syeikh Mahmud Ahmad Zain raḥimahullāh, ulama al-Azhar kelahiran Aleppo Suriah, berargumen bahwa empat Imam mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali) tidak satupun dari mereka keluar dari mazhab Salaf, yaitu Tabi’in-Sahabat.
Jika dijumpai ada kontradiksi di antara pendapat-pendapat Salaf, maka akan dipilih pendapat yang terkuat dalilnya sepanjang pemahaman mereka dalam masalah tersebut, dan mereka mempunyai kaidah (rumus) umum yang senantiasa mereka gunakan dalam menjawab problematika.
Bagaimana Imam Abu Hanifah membangun mazhabnya?
Imam Abu Hanifah sering memilih dan menggunakan pendapat-pendapat Sayyiduna Ali bin Abi Thalib ra. dalam mazhabnya, sebab keutamaan dan kecerdasan beliau radhiyallāhu ‘anhu wa karamallāhu wajhah. Terlebih, Baginda Nabi saw. telah memuji tentang bagaimana keutamaan sayyiduna Ali dalam ilmu. Tidak ada hadis yang banyak menceritakan keutamaan seorang sahabat melebihi cerita tentang Sayyiduna Ali ra. Imam Nasa’i, al-Ghamidi dan ulama lainnya dalam hal ini telah mengumpulkan hadis-hadis keutamaan Sayyiduna Ali dalam satu kitab.
Selain pendapat Sayyiduna Ali, pendapat Abdullah bin Mas’ud ra. juga sering dipilih oleh Imam Abu Hanifah dalam mazhabnya. Tentang sahabat Ibnu Mas’ud, Baginda saw bersabda:
وما حدثكم ابن مسعود فصدقوه
“Apa yang diucapkan oleh Ibnu Mas’ud maka percayalah.”
Kecenderungan Imam Abu Hanifah merujuk pada dua sahabat mulia ini sebab keduanya telah mukim dan menyebarkan ilmunya di Irak, tempat Imam Abu Hanifah. Para ulama Irak dan sekitarnya pun mempunyai sanad keilmuan yang cenderung sambung pada beliau berdua dibanding dengan sahabat yang lain.
Bagaimana Imam Malik membangun mazhabnya?
Imam Malik cenderung menggunakan pendapat-pendapat sahabat Umar bin Khattab dan putranya (Abdullah bin Umar ra.) serta seorang Tabi’in (Sa’id bin Musayyab ra). Pemilihan pada pendapat Sayyiduna Umar sebab sang Khalifah Kedua dalam manaqibnya ini senantiasa yastasyir (meminta petunjuk) saat akan memutuskan suatu hal. Artinya, segala keputusan Khalifah Umar adalah sebuah keputusan yang telah mendapat persetujuan kalangan sahabat.
Sedangkan Abdullah bin Umar ra. adalah seorang sahabat yang telah menjadi Mufti di masa akhir era sahabat selama 40 tahun. Artinya saat itu para Sahabat yang masih hidup mengetahui betul fatwa Ibnu Umar dan tidak ada pengingkaran. Kalaupun ada yang ingkar atas fatwa beliau maka itu sah-sah saja sebagai sesama sahabat murid baginda Nabi saw yang sama-sama berijtihad dari hasil analisis pemahaman keagamaan beliau-beliau.
Dan Sa’id bin Musayyab ra., seorang Tabi’in senior murid para Sahabat besar yang menjadi Mufti puluhan tahun di Madinah, bahkan beliau (Ibn Musayyab) telah berfatwa kala masih ada sahabat yang hidup. Keadaan ini melegistimasi tentang bagaimana ketsiqahan dan kealiman beliau. Kepada ketiga orang mulia yang mukim di Madinah tempat Imam Malik tumbuh dan wafat inilah mazhab Maliki bersanad.
Bagaimana Imam Syafi’i membangun mazhabnya?
Imam Syafi’i membangun mazhabnya tidak cenderung mengikuti satu dua pendapat Sahabat atau Tabi’in, namun beliau menggunakan metode tarjih pada pendapat-pendapat Sahabat dan Tabi’in yang dipandang lebih dekat pada nash untuk suatu masalah yang ada.
Imam Syafi’I tidak pernah sekalipun keluar dari pendapatnya para Sahabat atau Tabi’in. Beliau cenderung mengadopsi metode mazhab Imam Abu Hanifah (yang cenderung ‘aqliyyah) dan Imam Malik (yang cenderung naqliyyah) serta menyatukan keduanya.
Bagaimana Imam Ahmad membangun mazhabnya?
Imam Ahmad bin Hanbal adalah figur Imam Salaf di eranya. Beliau mempunyai orientasi utama agar kaum Muslim saat itu tidak keluar dari jalan orang-orang Salaf. Beliau senantiasa berfatwa dengan satu pendapat orang salaf (Tabi’in/Sahabat) yang dirasa relevan untuk suatu masalah yang beliau hadapi saat itu, di lain waktu beliau mengutarakan pendapat salaf yang lain untuk masalah yang sama. Oleh karena itu, kita mendapati dua bahkan tiga pendapat Imam Ahmad dalam satu masalah saja.
Imam Ahmad sangat membenci sebuah fatwa atau pendapat yang sama sekali tidak ada rujukannya dengan pendapat-pendapat orang Salaf terdahulu. Hal ini sebagaimana jawaban beliau kala ditanya oleh orang-orang yang meminta petunjuk pada beliau tentang bagaimana berfatwa:
لا تفت في مسئلة ليس لك فيها امام، اذا لم تجد في المسئلة قولا لأحد من السلف فأفت بها بقول الشافعي
“Janganlah kamu berfatwa dalam suatu masalah yang kamu tidak punya panutan (Imam), jika kamu tidak menemukan suatu pendapat salah satu Salaf dalam masalah tertentu maka berfatwalah dengan pendapat Imam Syafi’i.”
Lalu bagaimana para Imam 4 pendiri mazhab mu’tamad tersebut lakukan jika mereka tidak mendapati pendapat-pendapat Salaf dalam menjawab suatu masalah? Mereka akan berijtihad sesuai metode ijtihad masing-masing dengan mengqiyaskan perkara yang ada pada nash dan atsar Salaf, dan mereka tidak akan keluar dari model ini.
Apakah keempat Imam mazhab tergolong Salaf, yaitu kalangan yang hidup di abad tiga hijriyah? Wajib kita tahu bahwa keempat insan mulia di atas adalah orang-orang yang terbilang kaum Salaf. Imam Abu Hanifah adalah figur mulia yang konon sempat menjumpai beberapa Sahabat.
Oleh karena itu beliau tergolong Tabi’in, andai bukan Tabi’in sebab tidak menjumpai seorang Sahabat maka beliau adalah seorang murid senior kalangan Tabi’in. Begitu juga Imam Malik yang tergolong murid senior para Tabi’in. Imam Syafi’i adalah murid muda para Tabi’in sekaligus murid Imam Malik. Sedangkan Imam Ahmad adalah generasi selanjutnya yang pernah berguru pada Imam Syafi’i.
Maka ketiga Imam yang disebutkan pertama adalah figur-figur yang hidup di abad tiga hijriyah, sebuah masa yang memiliki keutamaan sebagaimana disebutkan oleh baginda saw. Sedangkan Imam Ahmad hidup di awal abad keempat, sebuah masa yang terbilang mendapatkan keutamaan dalam beberapa riwayat beserta era abad ketiga hijriyah.
Jadi mereka semua terbilang Salaf dan pada merekalah para pengikutnya mengambil pendapat. Sehingga yang dimaksud dengan pendapat Salaf adalah pendapat-pendapat beliau. Para pengikut mazhab mu’tamad ini tidak akan keluar dari pendapat mereka kecuali pada perkara yang tidak ada pendapat mereka. Dengan metode mazhab Imam 4 tersebut, para pengikut mazhab akan berijtihad.
Melihat pemaparan di atas, jika ada perbedaan pendapat di antara keempat mazhab ini maka sesungguhnya itu adalah khilāf (sebuah perbedaan) yang bersumber dari guru-guru mereka yaitu para Tabi’in dan Sahabat. Dan penamaan “mazhab” atas pilihan para Imam 4 pada pendapat-pendapat Tabi’in dan Sahabat adalah sebab para Imam mengenalkan dan menggunakan metode yang berbeda dalam mentarjih dan memilih pendapat-pendapat guru mereka (Tabi’in-Sahabat).
Lalu umat Muslim kemudian memilih salah satu mazhab tersebut sebab ketsiqahan dan kedalaman ilmu para Imam dan murid-muridnya yang turun temurun. Dengan demikian bahwa mengikuti mazhab mereka adalah mengikuti jalan Salaf, bukan bermazhab dianggap tidak mengikuti jalan Salaf, bagaimana pun Salaf terdahulu lebih paham maksud nash yang ada, pemahaman itu mereka ajarkan pada para muridnya, murid-muridnya turun ke murid-muridnya, begitu seterusnya hingga sampai ke kita, ini yang kita sebut dengan sanad, yang menjadi kelebihan umat sayyiduna Muhammad saw.
Ibnu Mubarak berkata:
لو لا الإسناد لقال من شاء على ما شاء
“Andai tidak ada sanad, pasti sesuka hati orang akan berpendapat.”