Review Buku “Metodologi Tafsir Al-Qur’an dari Tematik hingga Maqashidi karya M. Quraish Shihab”
Membaca buku Metodologi Tafsir al-Qur’an karya M. Quraish Shihab mengingatkan saya pada wacana yang dilontarkan para pengkaji al-Qur’an dalam satu dasa warsa akhir tentang pentingnya menghidupkan kembali kajian tafsir al-Qur’an klasik. Kajian tafsir klasik di sini dapat ditandai berdasarkan periode waktu kajian, yakni antara abad pertama hingga ke delapan Hijriah. Selain itu, tafsir klasik juga dapat diidentifikasi dengan produk kajian tafsir yang menaruh perhatian lebih pada warisan turāth dan sumber-sumber internal Islam. Meskipun terkadang kajian klasik mendapatkan stigma kurang apik, seperti ortodoks, konvensional dan dogmatis, tetapi faktanya tidak sepenuhnya benar. Ada banyak kajian tafsir klasik yang menawarkan wawasan dan pengetahuan baru, termasuk pendekatan kritis. Oleh sebab itu, kajian tafsir klasik kurang tepat jika hanya disandarkan pada kajian tafsir berbasis riwāyah atau yang masyhur dikenal dengan tafsīr bi al-ma’tsūr yang dilihat secara sempit berupa nukilan nukilan tanpa intervensi nalar kritis yang bijak.
Dalam konteks Indonesia, kajian tafsir klasik juga menghadapi tantangan tersediri. Para pengkaji tafsir al-Qur’an di Indonesia terkesan latah alias ikut ikutan. Kebanyakan mereka hanya mengikuti tren kajian tafsir dengan pendekatan tematik dan kontekstual. Saya tidak hendak mengatakan bahwa kajian tematik dan kontekstual dalam kajian al-Quran tidak penting. Saya juga tidak mengatakan bahwa kajian tersebut menjadi penyebab minimnya atensi mereka terhadap kajian tafsir klasik. Yang saya khawatirkan, beberapa kajian yang sudah ada seperti tercerabut dari akar kajian tafsir yang semestinya. Misalnya, praktik kontekstualiasi hanya sebatas mangait hubungkan dengan fenomena kontemporer, dan praktik tematisasi tafsir hanya sebatas memilih ayat-ayat tertentu yang mengacu pada subjktifitas penulis. Bukankan ini justru membahayakan jika dibiarkan terus-menerus. Padahal sebenarnya kajian tafsir klasik mewariskan metodologi yang cukup kompleks dengan piranti prosedur yang menyertainya.
Buku Quraish Shihab ini dengan bahasa yang mudah difahami, mengisi ruang kosong yang mulai tidak mendapatkan perhatian publik. Pepatah popular yang menyatakan bahwa rumput tetangga lebih hijau dari rumpt di halaman kita dalam konteks fenomena ini menjadi tidak sepenuhnya tepat.
Penggagas studitafsir.com, Mu’ammar Zayn Qadafy dalam upaya menghidupkan kajian tafsir klasik, melontarakan wacana kajian yang cukup penting, tentang pentingnya kajian tafsir berbasis sūrah. Menurutnya, tipe kajian itu dilatari oleh keresahannya akan adanya hegemoni kajian tafsir kontekstektual dan tematik. Sebenarnya tidak ada yang salah dari kedua tipe kajian tersebut, yang menjadi catatan adalah kajian tematik bergeser dari visi awalnya, yakni, koherensi makna. Adapaun tafsir kontekstual, dalam banyak literatur yang saya baca lebih kepada pemaksaan makna dengan tergesa-gesa. Menurut Qadafy, kajian tafsir tematik seperti ini cenderung mengikuti model (author logic). Al-Qur’an disesuaikan dengan isu-isu yang bergeliat dalam alam pemikiran penafsir. Sehingga struktur penafsiran lebih didominasi oleh refleksi penafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait dengan topik tersebut. Ayat tidak dikerangkakan dalam kronologinya, namun ditempatkan pada alur dan logika pengarang. Fakta-fakta inilah yang menurut saya menjadikan kajian tafsir tematik kurang mencerminkan al-wihdah al-Maudhū’iyyah. Isu ini juga sempat diangkat pada pertemuan rutin Asosiasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di Indoensia pada tahun 2024 yang dilaksanakan di Kediri.
Dalam buku ini, Quraish Shihab juga tidak melewatkan perhatiannya pada tafsir berbasis sūrah. Penjelasan tentang tafsir berbasis sūrah oleh Quraish Shihab disajikan secara informatif, dengan mengaitkannya dengan konsep tematik al-Quran. Menurutnya, dalam khasanah studi Quran klasik, tafsir berbasis sūrah sangat identik dengan tafsir tematik. Alasan yang mendasarinya bahwa setiap sūrah hadir dengan membawa maksud tersendiri. Bahkan penamaan sūrah meniscayakan isi kandungannya, seperti sūrah al-rahmān yang mengandung pesan belas kasih dan kemurahan Allah yang tak terbatas. Ayat ayat yang ada di dalam suatu surah menjelaskan maksud pokok dari sūrah tersebut. Oleh sebab itu, Quraish Shihab menyebut sūrah sebagai pagar yang menghalangi masuknya sesuatu yang tidak sejalan dengan tujuan kehadiran surah (hal. 74-75).
Selain mengaitkan kajian tematik dengan kajian tafsir berbasis sūrah, Quraish Shihab juga menjelaskan secara terpisah tentang kajian tafsir berbasis tematik. Pada tipe ini kajian tafsir tidak bertitik tolak dari sūrah melainkan berdasarkan tema tertentu. Penafsir yang menempuh penafsiran tipe ini akan menentukan tema dan menghimpun ayat-ayat yang tersebar di dalam al-Qur’an. Pada bagian ini saya tidak menemukan kekhasan dari pandangan Quraish Shihab, selain ia menunjukkan langkah praktis metodologis dan prosedur penafsiran berbasis tematik yang harus ditempuh (hal. 63-64). Dengan kata lain, penjelasan seperti ini juga saya temukan pada buku-buku lainnya seperti al-Bidāyah fī al-tafsīr al-Maudhu’ī karya Abdul Hay al-Farmawy.
Secara ringkas, selain mukaddimah dan penutup, konten buku ini terdiri beberapa topik, seperti ragam Ilmu-Tafsir Al-Qur’an yang meliputi tafsīr bi al-Ma’tsūr, Tafsīr bi ar-Ra’yi, dan Tafsīr Isyāri. Beberapa topik seperti Metode Maudhū’i (tematik), penafsiran berbasis surah, dan Tafsir al-Maqāshidi diulas dengan cukup detil dengan perpaduan penjelasan sumber turāth dan haddātsah secara proporsional. Dua bab tentang kritik terhadap Ayat-ayat al-Qur’an dan penutup menjadi dua bab yang penting untuk dibaca. Bab tentang kritik terhadap al-Qur’an menyuguhkan sanggahan apik bagi kelompok revisionis atau kelompok yang meragukan koherensi dan kerancuan bahasa al-Qur’an.
Buku ini tergolong pengembangan kajian dengan formula lebih sederhana dari buku Quraish Shihab sebelumnya, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam memahami Ayat-ayat al-Qur’an yang terbit pada tahun 2013. Topik tentang asbāb al-Nuzūl, Munāsabah, dan Siyāq, misalnya, telah diulas pada kedua buku dengan kemasan yang berbeda. Tema-tema tersebut di dalam buku ini dikaji dengan mengaitkannya dengan prosedur tafsir maqāshidi. Adapun pada buku sebelumnya, Quraish Shihab meletakkannya pada wawasan umum metode penafsiran tanpa mengaitkannya dengan unsur maqāshidi. Ini yang saya maksud dengan pengembangan. Unsur-unsur tersebut boleh jadi menurut Quraish Shihab memiliki relevansi dalam formula tafsir maqāshidi.
Tema maqāshidi tergolong tema aktual dalam wacana kajian tafsir al-Qur’an kontemporer. Menariknya Quraish Shihab tidak ikut-ikutan sebagaimana yang telah dilakukan para penulis lainnya. Yang dilakukan adalah menggali dan membuat formula praktis metodologis dengan melakukan ekstraksi dari manhaj klasik. Quraish Shihab menitikfokuskan penjelasan tafsir maqāshidi pada maqāshid (tujuan) al-Qur’an yang telah dirumuskan oleh para pengkaji Qur’an klasik. Baginya, unsur maqāshidi dalam al-Qur’an sudah ada secara genuine, yang belum ada adalah formula praktis dan teknis. Oleh sebab itu, ia mengungkap ada beberapa unsur penting dalam menggali makna al-Qur’an secara maqāshidi. Unsur tersebut meliputi: makna kosakata, mutasyabih, takwil, kaidah-kaidah kebahasaan, siyāq, dan munasabah.
Kosa kata dan siyāq meruapakan dua diantara yang memiliki peran penting dalam penggalian makna al-Qur’an. Suatu kosa kata al-Qur’an dapat membawa makna yang tidak tunggal, seperti kata ummah memiliki makna lebih dari satu (hal. 126). Begitu pula kata dhāl pada surah ad-Duha ayat 7 berbeda dengan tadhilla pada surah al-Baqarah ayat 282. Yang pertama berarti sesat dan yang kedua berarti kehilangan arah atau lupa. Kendati begitu bagi Quraish Shihab, kesesatan yang dinisbahkan pada Nabi Muhammad bukan berarti kesesatan dalam kemaksiatan melainkan kondisi ketidaktahuan sebelum mendapatkan petunjuk dari Tuhan. Keragaman makna yang ditimbulkan oleh maksud kosa kata ini juga dapat berupa penggunaan dua kata dari akar yang sama tetapi dengan sedikit pengurangan huruf seperti, pada kata tastathī’ dan tasthī’ di dalam surah al-Kahfi. Ketiadaan huruf tha’ menggambarkan keadaan yang lebih sulit. Selain itu, Quraish Shihab memberi banyak contoh tentang urgensi perubahan makna berdasarkan dinamika kosa kata yang ada.
Begitu pula dengan kasus siyāq, keberadaannya memiliki peran penting dalam memahami al-Qur’an. Siyāq yang secara bahasa bermakna urutan atau juga berarti konteks dapat berupa lughawi atau maqāli atau ghairu lughawi. Siyāq lughawi atau konteks bahasa harus diperhatikan agar makna ayat tidak meleset. Indikator siyāq tipe ini terdiri dari unsur-unsur kebahasaan. Sebagai contoh, pada surah Ad-Dukhān ayat 49 kata al-’Azīz al-Karīm yang menceritakan keadaan para penghuni negara tentu bukan berarti “perkasa lagi mulia” sebagaimana makna harfiahnya tetapi hal tersebut sebagai ejekan. Siyāq kalimat tersebut berkaitan dengan keadaan selama di dunia. Para penghuni neraka merasa perkasa dan mulia namun pada saat di neraka tidak dapat berbuat apa-apa. Sedangkan indikator siyaq ghair lughawi bisa lebih beragam dan luas, tidak hanya unsur kebahasaan. Dalam konteks al-Qur’an, siyāq dapat pula berkaitan denga isi al-Qur’an secara keseluruhan, berkaitan dengan surāh tertentu ataupun berkaitan dengan ayat-ayat yang lain. Sebagai penandanya adalah tujuan kehadiran al-Qur’an (maqāshid al-Qur’an) itu sendiri.
Ada potensi timbul kesalahan dalam memahami makna ayat jika tidak memperhatikan siyāq. Misalnya firman Allah surat As-Syu’ara ayat 224 “para penyair diikuti oleh para penyesat jalan kebenaran” dapat disalahpahami oleh mereka yang tidak memahami kondisi masyarakat dan sikap mereka terhadap syair. Mereka menduga ayat di atas mengecam para penyair dan menilai keluar dari jalur agama, padahal tidak demikian hakikatnya. Siyāq ayat ini adalah menampik sikap kaum Musyrik yang mengira Al-Qur’an itu adalah gubahan Nabi Muhammad yang dibantu oleh setan dalam gubahannya. Di sisi lain banyak para penyair di masa Jahiliyyah dan awal Islam yang membuat syair berisi kepalsuan dan kemungkaran (hal. 169). Itulah urgnensi keberadaan kosa kata dan siyāq dalam memahami al-Qur’an.
Selain dua hal tersebut, unsur mutasyābih, takwīl, kaidah-kaidah kebahasaan, dan munāsabah juga diuraikan dengan memberikan banyak ilustrasi dan contoh-contoh yang mendetil sehingga dapat menggambarkan makna yang diperoleh secara maqāshidi. Jika dicermati, unsur-unsur maqashidi di dalam penafsiran ini merupakan berakar pada nalar kritis tafsir tradisionalis. Hal tersebut dapat ditandai pada kecermatan pada aspek-aspek terkecil dalam mengungkap makna seperti kata bahkan huruf serta perhatiannya atas konteks ayat berdasarkan koherensi makna baik yang timbul dari unsur kebahasaan ataupun di luar bahasa, misalnya kondisi sosial dan budaya.
Di sisi lain, memperhatikan aspek diksi yang digunakan di dalam menuliskan bab dan subbab, tidak ada yang unik atau kesan baru di dalam buku tersebut. Bagi pengkaji atau peneliti al-Qur’an kiranya cukup familiar dengan bab-bab yang disajakan oleh Quraish Shihab. Tema bab tersebut mudah ditemukan dalam kajian al-Qur’an populer. Akan tetapi, kepiawaian Quraish Shihab dalam menyajikan gagasan tertuang dalam penjelasan yang khas dan menawarkan kedalaman, kebaruan dan kemenyeluruhan (syumūliyyah).
Kedalaman pandangan Qurasih Shihab terindikasi dari perhatiannya terhadap penjelasan warisan turāth yang sebetulnya menyajikan gagasan yang melimpah. Turāth dalam konteks ini adalah pada penafsir al-Qur’an masa lalu yang telah banyak menaruh perhatian terhadap makna al-Qur’an dan seluk belok metodenya. Saya sangat setuju dengan mereka yang mengkategorikan Quraish Shihab ke dalam barisan terdepan Azharian Indonesia yang menjaga tradisi turāth.
Sisi kebaruan dapat ditemukan dari berbagai penjelasaan-penjelasannya yang cukup adaptif dengan fenomena kontemporer. Selain itu, ia juga menggunakan piranti metodologi dan wawasan dari berbagai ilmu pengetahuan, seperti bahasa, sejarah, dan sosiologi. Adapun dalam hal kemenyeluruhan, Quraish Shihab tidak hanya menggunakan sumber informasi dari mufassir mainstream, namun juga menggunakan sumber-sumber lain termasuk pandangan minoritas seperti pemikiran pembaharu Islam atau bahkan madzhab Islam minotitas.
Secara teknis kebahasaan, kelebihan buku ini terletak pada kekuatan ilustrasi dengan menggunakan makna-makna aktual yang dekat dengan keseharian pembaca. Misalnya ketika ingin menjelaskan tentang diversifikasi makna kata di dalam al-Qur’an, ia menggunakan contoh-contoh di dalam konteks lokal. Quraish Shihab sering menggunakan contoh dan ilustrasi untuk memudahkan pemahaman kepada para pembaca awam. Misalnya saat membuat analogi perbedaan antara tafsir maudhu’ī (tematik) dengan tafsir tahlīlī (analitik) diibaratkan dengan hidangan nasi kotak dan prasmanan. Produk tafsir tematik menyajikan ulasan spesifik tentang isu atau tema tertentu dengan ulasan yang mendalam sebagaimana menu nasi kotak yang tunggal. Adapun tafsir analitik menyajikan beragam topik secara berkelindan dalam suatu tafsir sebagaimana ada beragam hidangan dalam menu prasmanan. Selain itu, kekuatan tulisannya terelatak pada koherensi makna. Artinya dalam beberapa kesempatan, ia memunculkan penjelasan sepintas pada suatu tempat dan memunculkan lebih rinci pada tempat lain.
Menjelang bab akhir, Quraish Shihab, menyajikan catatan penting. Catatan tersebut berupa respons atas kritik sebagian kalangan terhadap bahasa al-Quran dan makna kandungan al-Qur’an yang dianggap tidak konssiten. Menurut Quraish Shihab seharusnya kaidah kebahasaan yang mengikuti kandungan pesan dan makna al-Qur’an bukan sebaliknya. Artinya, jika ditemukan inkonsistensi penggunaan kaidah bahasa dalam al-Qur’an bukan berarti al-Quran yang menjadi pemicunya, namun bahasalah yang semestinya menyesuaikan, sebab ia datang lebih akhir. Dalam banyak kesempatan pengetahuan bahasa dan ketidak terjangkaunya kedalaman makna al-Qur’an menimbulkan kesalah pahaman atas al-Qur’an. Bahkan pada keadaan tertentu tidak hanya karena kedangkalan bahasa namun juga kedangkalan wawasan ilmiah. (hal. 190)
Selain itu, Quraish Shihab menegaskan berulang tentang kompleksitas makna al-Qur’an. Bahayanya memahami al-Qur’an hanya dengan wasilah terjemah, apa lagi terjamah harfiyyah. Untuk memperoleh makna esesnial dari al-Qur’an harus dapat menyelami seluk beluk al-Qur’an dan cara yang paling mungkin dilakukan selain menguasai berbagai ilmu tentu dengan menambah durasi interaksi dengannya. Jika hal tersebut dilakukan maka makna al-Qur’an akan dengan mudah diperoleh dengan benar sebab Al-Qur’an hakikatnya berdialog dengan pembacanya.
Terakhir, memang Quraish Shihab tidak dengan tegas mengajak pembaca untuk kembali ke turāth, dekolonisasi kajian tafsir atau apapun sebutannya, namun ia memberi pesan tersirat tentang pentingnya membaca al-Qur’an dengan bahasa dan budayanya sendiri. Mengungkap makna al-Qur’an harus tahu dengan keseluruhan seluk beluk al-Qur’an. Bagi pecinta kajian al-Qur’an, melewatkan membaca buku ini adalah sebuah kerugian.









Please login to comment