Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Buku

Sayyid Usman Betawi dan Persoalan Alat Rekam Al-Quran

Avatar photo
22
×

Sayyid Usman Betawi dan Persoalan Alat Rekam Al-Quran

Share this article

Sayyid Usman termasuk di antara ulama Nusantara yang
banyak berpolemik dengan ulama lainnya. Salah satu persoalan yang dipolemikkan
adalah masalah alat rekam bacaan al-Quran yang dikenal dengan fonografi.

Oleh karena seriusnya persoalan ini pada saat itu,
Sayyid Usman setidaknya menulis 3 (tiga) karya tulis ditambah dengan sebuah
tulisan lain dari seorang ulama asal Suriah yang bernama Sayyid Husain al-Jisr.

Tiga karya tersebut berjudul:

(i) Thulu’ Badr al-Ilm al-Murtafa’ wa Zhuhur Najm
al-Shidq al-Muntafa’ ala Shihah Jawab Hukm al-Shauth al-Mukhtara’

(terbitnya purnama dan bintang atas benarnya fatwa persoalan alat fonografis)–disingkat
dengan Thulu’ Badr—yang selesai ditulis bulan Rabiul Awal 1317 H.

(ii) Ini Risalah Bernama Perihal Mesin Omong
Suaranya Kumpul Kenung
yang selesai ditulis bulan Rabiul Sani 1327 H.

(iii) Thulu’ al-Murtafi’ fi Bayan Masalah Mesin
Ngomong Suaranya Kenung-kenung
tanpa menyebutkan tahun penyelesaian
penulisan.

Sementara sebuah kitab yang berisi jawaban fatwa dari
ulama Suriah berjudul Hadza Naql min Jaridah Tharablus (ini sebuah nukilan dari
Koran Tharablus) yang terbit pada bulan Jumadil Ula 1317 H.

Latar belakang penulisan kitab pertama Thulu’ Badr
seperti yang tertulis di mukadimah adalah berdasarkan permintaan fatwa hukum
terkait hukum mendengarkan bacaan al-Quran dari sebuah alat perekam yang
disebut dengan ponografi. Sayyid Usman menulis sebagai berikut:

سؤال:
ما قول العلماء –متع الله بهم- فى شأن الصندوق الذي فيه آلات تجذب الأصوات التي
بقربه الي داخله, فيجئ تالي القرآن بالأنغام الي قربه فانجذب ماتلاه بأنغامه الي
داخله, وتجئ المغنية وغنت فانجذب غناؤها كذلك, واذا ضربت آلة اللهو بقربه انجذب
صوتها كذلك وهكذا, فتجتمع تلك الأصوات المجذوبة في داخل ذلك الصندوق متميز بعضها
من بعض. ثم أذا اراد صاحبه إخراج صوت معين منها حرك تلك الآلة المتصلة به فيخرج
ذلك الصوت برمته يسمعه كل من يمسك سلك ذلك الصندوق ويصنعه علي أذنه. وصاحب هذا
الصندوق يحمله الي حيث شاء من الأماكن لأخذ العوض ممن استمعه سواء كان مسلما أو
غيره

(Pertanyaan: bagaimana pendapat ulama terkait sebuah
kotak yang memuat alat perekam semua suara yang berdekatan dengannya.
-Contohnya-: seorang membaca al-Quran dengan lagu di dekatnya kemudian terekam;
seorang perempuan menyanyi di dekatnya juga kemudian terekam; begitu juga alat
musik yang dimainkan di dekatnya akan terekam. Oleh karenanya, semua suara yang
terekam tersebut akan terkumpul di alat perekam, dimana masing-masing suaranya
akan berbeda. Kalau pemiliknya –alat perekam- ingin mendengarkan suara rekaman
tertentu ia akan menekan bagian tertentu, sehingga terdengar suaranya oleh
orang yang memegang alat tersebut dengan mendekatnya ke telinganya. Pemilik
alat ini akan membawanya ke tempat apa saja untuk mendapatkan imbalan jasa dari
orang yang ingin mendengarkannya, baik orang muslim ataupun tidak).

Sekilas yang dipahami dari mukadimah di atas, bahwa
alat tersebut digunakan sebagai bentuk jasa. Namun siapakah yang membawa alat
tersebut sehingga menimbulkan pertanyaan dari masyarakat Nusantara.

Menurut Nico J.G Kaptein dalam karyanya Islam,
Kolonialisme, dan Zaman Modern  di
Hindia-Belanda: Biografi Sayid Usman (1822-1914), dengan menukil pendapat
Snouck Hurgronje bahwa yang melatar-belakanginya, bahwa seorang Sayyid yang
tidak disebutkan identitasnya berkeliling tanah Jawa dengan membawa alat
ponograf tersebut guna mendapatkan imbalan materi.

Ada tiga pertanyaan yang termuat dalam mukadimah: (a)
bagaimana hukum membawa alat ponograf tersebut dengan mendapatkan imbalan atas
jasa yang diberikan, (b) bagaimana hukum mendengarkan bacaan al-Quran dari
suara yang terbit darinya bagi seorang muslim, dan (c) bagaimana hukum
mendengarkan suara penyanyi perempuan darinya.

Sebelum memberikan fatwa atas tiga pertanyaan tersebut,
ia menjelaskan tiga hal yang menjadi pembukan naskah fatwanya, bahwa: (a) semua
ciptaan Allah swt. tidak ada yang sia-sia, guna menunjuk atas
ke-Maha-Esa-an-Nya, (b) akal yang disebut pemiliknya dengan “ulul albab” adalah
akal yang digunakan untuk menunjukkan keimanan, dan (c) sikap muslim atas yang
lebih menekankan aspek akhirat dari dunia, sehingga sedikit dari mereka yang
memfokuskan diri dalam pembuatan dan pengembangan ilmu semacam alat perekam
tersebut. 

Terkait fatwa atas tiga pertanyaan di atas, Sayyid
Usman menjawab sebagai berikut:

Pertama, (a) boleh, apabila pemilik ponograf tersebut
membawanya bukan ke tempat yang dilarang, pendengar rekaman al-Quran adalah
seorang muslim dan memenuhi persyaratan seperti adab, dan (b) haram, apabila
persyaratan yang pertama tidak terpenuhi, bahkan apabila hal tersebut dilakukan
akan menjadikan rekaman al-Quran menjadi bahan penghinaan.

Kedua, hukum mendengar rekaman al-Quran bagi pendengar
muslim tidak mendapatkan pahala. Sebab suara tersebut tidak langsung keluar
dari pembacanya. Ketiga, hukum mendengar rekaman nyanyian perempuan menjadi
haram apabila mengundang syahwat, dan sebaliknya dibolehkan apabila tidak
memenuhi hal tersebut.

Tidak mengherankan bahwa fatwa Sayyid Usman tersebut
mengundang reaksi berupa bantahan ulama lain yang tidak disebutkan namanya.
Ulama tersebut menyebutkan bantahannya sebagai berikut:

(a) mendengar semua suara yang keluar dari alat perekam
tersebut secara mutlak dibolehkan.

(b) semua yang terlibat dalam alat tersebut mendapatkan
pahala; pendengar mendapatkan pahala dan dibolehkan bersujud tilawah, perekam
suara juga mendapatkan pahala. Argumentasi yang diberikan bahwa “penulis mushaf
saja akan berpahala dengan setiap bacaan, apalagi perekam yang suaranya
disimpan dalam alat tersebut kemudian didengarkan kepada setiap orang,

dan (c) suara rekaman azan sudah memadai dengan alat
tersebut.

Untuk membantah bantahan tersebut, Sayyid Usman menulis
delapan pembahasan terkait persoalan-persoalan hukum tentang al-Quran dan
nyanyian perempuan asing. Persoalan-persoalan al-Quran, seperti hukum membaca
dengan tajwid, adab membaca, menghormati, pengertian firman Allah swt. dan
persyaratan sujud tilawah. Oleh karenanya, beberapa bantahannya adalah sebagai
berikut:

1. Menurut Sayyid Usman bahwa “sujud tilawah setelah
mendengar dari rekaman seperti mendengar langsung dari pembaca al-Quran”
merupakan pernyataan yang keliru. Sebab, syarat yang mesti terpenuhi untuk itu
adalah dengan bacaan yang dibolehkan (qira’ah masyru’ah), yaitu dengan tajwid.
Syarat lainnya adalah tidak dibolehkan mendengar dari bacaan benda mati (jamad)
dan tidak terlalu jauh jarak antara bacaan dengan sujud tilawahnya.

2. Argumentasi yang mengatakan bahwa “pembaca al-Quran
yang merekam suaranya di alat fonograf tersebut lebih baik dari penulis mushaf”
adalah keliru. Sebab, argumentasi ini seperti pernyataan Imam Ali bin Abi
Thalib ra. yang mengatakan, “Sekiranya ilmu fiqih dengan akal, akan
meniscayakan mengusap bagian dalam khuff (sepatu atau penutup kaki) lebih
berhak dibasuh dari bagian luarnya.”

3. Argumentasi yang mengatakan bahwa pendengar muslim
mendapatkan pahala mendengar al-Quran dari alat tersebut, sebab, ia sama
seperti suara pembaca asli, menurutnya adalah keliru. Sebab, ada perbedaan yang
mendasar antara keduanya. Dalam membaca al-Quran ada beberapa hal yang harus
terpenuhi, seperti adab. Di antaranya adalah berwuduk, menghadap kiblat, tidak
dalam keadaaan duduk bersandar dan sombong, menangis ketika melalui ayat-ayat
ancaman. Adab-adab seperti yang disebutkan itu tidak terpenuhi ketika merekam
suaranya di alat tersebut. Sebab, alat tersebut dibuat sebagai hiburan.

4. Mendengarkan suara nyanyian perempuan asing dari
alat tersebut secara mutlak dibolehkan menurutnya juga keliru. Sebab, hal
tersebut terbatas apabila mengundang syahwat dan tidaknya.

Fatwa awal dan beberapa bantahan atas pendapat ulama
yang membantahnya ini semuanya terjadi pada tahun 1317  H. Oleh karenanya, pada tahun 1327 H, Sayyid
Usman Betawi ditanya oleh masyarakat dalam persoalan yang sama, sehingga ia
menulis kitab selanjutnya dalam bahasa Melayu yang berjudul Ini Risalah Bernama
Perihal Mesin Omong Suaranya Kumpul Kenung
yang secara konten merupakan
ringkasan dari kitab sebelumnya.

Medan, 10 Maret 2021
STIT Ar-Raudlatul Hasanah

Kontributor

  • Ahmad Fauzi Ilyas

    Direktur Pusat Studi Naskah Ulama Nusantara, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbbiyah (STIT) Ar-Raudlatul Hasanah. Di antara karyanya adalah Warisan Ulama Nusantara: Tokoh, Karya dan Pemikiran