Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Vonis Bid’ah Itu Berat, Ibnu ‘Arafah Saja Tak Kuat

Avatar photo
32
×

Vonis Bid’ah Itu Berat, Ibnu ‘Arafah Saja Tak Kuat

Share this article

Muhammad
bin Muhammad bin ‘Arafah al-Warghami at-Tunisi al-Maliki, atau yang lebih
dikenal dengan Imam Ibnu ‘Arafah adalah seorang ulama terkemuka dalam mazhab
Malikiyyah. Di masa hidupnya, ia menjadi rujukan dan tempat mengadu bahkan oleh
para ulama dan fuqaha dalam menjawab berbagai permasalahan keagamaan. Di antara
karyanya adalah al-Mukhtashar al-Kabir, ath-Thuruq al-Wadhihah, al-Hudud
dan juga al-Mabsuth sebanyak tujuh jilid yang menurut Imam Sakhawi:
“Tidak mudah dipahami.”

Suatu
kali seorang ahli fiqih dari kota Gharnathah melayangkan delapan pertanyaan
kepada Imam Ibnu ‘Arafah. Satu dari pertanyaan itu sering juga menjadi polemik
di negeri kita yaitu tentang doa berjamah setiap selesai shalat. Yang menarik
adalah hal ini ditanyakan oleh seorang ahli fiqih. Ini menunjukkan
kehati-hatiannya dalam menyikapi sebuah permasalahan. Ia menyadari bahwa ada
yang lebih alim dari dirinya untuk ditanyai. Di sisi lain, alim yang ditanya;
Imam Ibnu ‘Arafah yang sudah sangat diakui kedalaman ilmunya juga tidak
‘berani’ mengeluarkan vonis bid’ah secara sembarangan.

Kehati-hatian
ini mereka warisi dari para imam mazhab yang sangat ketat dalam mengeluarkan
vonis bid’ah terhadap sebuah amal. Inilah yang dimaksud oleh Imam adz-Dzahabi
dalam risalahnya
, at-Tamassuk bi as-Sunan:

هُمْ يُغَلِّظُوْنَ فىِ مُسَمَّى
الْبِدْعَة

“Mereka
(para imam mazhab) begitu ketat dalam menyematkan label bid’ah.”

Kembali
pada pertanyaan yang dilayangkan sang faqih kepada Imam Ibnu ‘Arafah. Ia
menulis :

Ada seorang imam masjid yang tidak mau
berdoa bersama setiap selesai shalat. Padahal ini sudah menjadi kebiasaan yang
dilakukan sejak lama di banyak tempat; selesai shalat sang imam berdoa dan
makmum mengaminkannya. Tapi imam tadi, selesai shalat ia segera menuju ke tepi
masjid atau pergi berlalu begitu saja. Ia mengatakan bahwa yang dilakukannya
ini sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para ulama.
Sementara yang dilakukan oleh masyarakat selama ini (doa bersama) adalah
sesuatu yang bid’ah dan mesti ditinggalkan. Menurutnya, siapa yang mau berdoa
silahkan berdoa sendiri-sendiri tanpa perlu bersama-sama (berjamaah).

Banyak
orang tidak sependapat dengan imam ini. Tapi ia bersikukuh mengatakan, “Inilah
yang benar sesuai dengan yang dijelaskan oleh para ulama.”

Polemik
ini sampai kepada Syekh Abu Sa’id bin Lubb (seorang ulama di daerah itu). Ia
sangat tidak setuju dengan tindakan sang imam yang meninggalkan kebiasaan lama
itu. Ia pun menulis sebuah risalah yang berjudul Lisan al-Adzkar wa
ad-Da’awat mimma Syuri’a fi Adbar ash-Shalawat
. Dalam risalah itu ia
menyampaikan berbagai dalil dan argumentasi untuk membuktikan bahwa apa yang
telah dilakukan selama ini adalah benar dan shahih.

Inti
dari risalah yang ditulis Syekh Abu Sa’id ini adalah anggaplah berdoa secara
berjamaah yang selama ini dilakukan masyarakat tidak pernah dilakukan oleh
salaf, tapi ini tidak berarti bahwa hal ini tidak boleh dilakukan. Ini masuk
dalam kategori at-tark (sesuatu yang ditinggalkan). At-Tark
sendiri tidak memiliki dampak hukum selain bahwa sesuatu itu boleh untuk
ditinggalkan (tidak dikerjakan). Adapun kalau dikatakan bahwa at-tark berarti
sesuatu itu menjadi haram atau makruh jika dilakukan, ini jelas keliru.

Kalaupun
dikatakan salaf tidak pernah melakukannya, sebenarnya salaf sendiri banyak
melakukan hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh salaf sebelum mereka,
seperti menghimpun mushaf, memberi titik dan baris ayat-ayat al-Quran, membagi
al-Quran ke dalam hizb-hizb, menuliskan ayat-ayat al-Quran dan asma` Allah pada
uang Dinar dan Dirham, dan sebagainya.

Umar
bin Abdul Aziz sendiri pernah berkata:

تَحْدُثُ لِلنَّاسِ أَقْضِيَةٌ بِقَدْرِ
مَا أَحْدَثُوْا مِنَ الْفُجُوْرِ

“Perlu
dibuat ketentuan hukum baru untuk manusia sesuai dengan kejahatan-kejahatan
baru yang mereka lakukan.”

Demikian
juga dalam hal ini kita mengatakan:

تَحْدُثُ لَهُمْ مُرَغِّبَاتٌ بِقَدْرِ
مَا أَحْدَثُوْا مِنَ الْفُتُوْرِ

“Perlu
dibuat hal-hal baru untuk memotivasi manusia sesuai dengan kelesuan-kelesuan
baru yang mereka buat sendiri.”

Syekh
Abu Sa’id juga menyebutkan bahwa berdoa secara berjamaah itu memiliki banyak
manfaat, Di antaranya: banyak orang tidak tahu bagaimana berdoa yang benar;
atau ia tahu tapi bisa jadi ia berdoa dengan sesuatu yang tidak dibolehkan oleh
syariat; tidak sedikit juga yang keliru dalam redaksi doa; dan banyak juga yang
tidak bersemangat kalau berdoa sendirian. Kemudian ia menukilkan berbagai
hadits tentang berdoa setelah shalat.

Benar
bahwa tidak semua bid’ah itu yang jelek. Tapi penjelasan Syekh Abu Sa’id ini
bisa saja menjadi dalih bagi orang yang melakukan sesuatu yang baru lalu ia
berkata bahwa ini bid’ah hasanah. Sebaliknya, orang yang tidak setuju bisa juga
mengatakan bahwa itu bid’ah madzmumah. Ini semua terjadi karena tidak tegasnya
perbedaan antara bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi`ah. Kalau perbedaannya jela
dan tegas tentu kita bisa langsung mengenali mana amalan yang masuk dalam
keumuman larangan melakukan hal yang baru (muhdats) dan mana yang
dikecualikan dari larangan itu.

Inilah
yang meragukan saya dalam apa yang ditulis oleh Syekh Abu Sa’id dalam
risalahnya itu, dan ini tidak terlepas dari tidak tegasnya perbedaan antara
bid’ah hasanah dan bid’ah qabihah.”

***

Setelah
membaca pertanyaan yang cukup panjang ini, Imam Ibnu ‘Arafah menulis:

“Jika
melakukan doa secara berjamaah didasari oleh niat bahwa hal itu merupakan
bagian dari sunnah atau keutamaan (fadhilah), shalat maka ini tidak boleh. Tapi
kalau tidak didasari oleh niat seperti itu maka ini kembali pada hukum asal
berdoa; bahwa doa adalah sebuah ibadah yang keutamaannya sudah diketahui
bersama.

Ada
riwayat bahwa Imam Malik memakruhkan berdoa setelah shalat dalam keadaan
berdiri. Ini berarti bahwa jika dilakukan sambil duduk tidak mengapa. Ada juga
riwayat dari Imam Malik bahwa ia memakruhkan doa setelah khatam al-Quran. Namun
yang lebih kuat menurutku adalah hal itu boleh. Bahkan ada banyak hadits dalam
kitab-kitab hadits seperti Sunan Nasa`i yang mendukung hal tersebut dan
beberapa Di antaranya adalah shahih.

Tentang
bid’ah itu sendiri sudah banyak dibicarakan oleh ulama dahulu dan belakangan
seperti Imam al-Qarrafi dan Izzuddin bin Abdussalam dan mereka membagi bid’ah
ke beberapa bagian. Wallahu a’lam.

(المعيار المعرب للونشريسي الجزء السادس ص
٣٦٤ – ٣٧١
)

Bisa
diperhatikan bagaimana hati-hatinya Imam Ibnu ‘Arafah dalam melabeli sebuah
amal. Ia hanya mengatakan, kalau niatnya begini maka tidak boleh, tapi kalau
niatnya begini maka kembali kepada hukum asal. Ia tidak ‘berani’ mengeluarkan
vonis bid’ah pada sebuah amalan yang tidak disepakati sebagai sesuatu yang
bid’ah.

***

Sebenarnya
perbedaan pendapat tentang bid’ah terjadi dalam dua hal mendasar; tentang
mafhum (pengertian) bid’ah itu sendiri (ada yang membaginya menjadi bid’ah
hasanah dan bid’ah sayyi`ah dan ada yang memukul rata bahwa semua bid’ah adalah
sayyi`ah, adapun maksud dari bid’ah sayyi`ah dalam ungkapan sebagian ulama
adalah bid’ah secara bahasa bukan secara istilah), dan perbedaan dalam tathbiq
(memasangkan pengertian kepada amalan-amalan juz`iy).

Para
ulama yang mengatakan semua bid’ah itu sesat, mungkin saja akan tetap berbeda
pendapat dalam menilai amalan tertentu, apakah ia bisa dikategorikan sebagai
sesuatu yang bid’ah atau tidak. Jadi ia tidak sesederhana mengatakan, “Jika ia
tidak pernah ada di zaman Nabi, atau salafus shaleh, kalau kita lakukan maka
itu bid’ah.” Karena al-matruk (sesuatu yang ditinggalkan) tidak pernah
menjadi dasar dan dalil dalam menetapkan sebuah hukum. Ia masuk dalam kategori
al-‘afw (
العفو).
Baru kemudian dikaji apakah hal itu masuk dalam kategori haram, makruh, mubah,
sunnah atau bahkan wajib.

Karena
itu, Syekh Hatim al-‘Auni, seorang ulama Saudi, cukup geram ketika mendengarkan
‘fatwa’ seorang syekh (Saudi juga) yang mengatakan bahwa meskipun memperbanyak
shalawat di hari Jumat adalah sesuatu yang sunnah dan sangat dianjurkan, tapi
sengaja mengingatkan orang untuk memperbanyak shalawat di hari Jumat adalah
sesuatu yang bid’ah, karena aktivitas ‘mengingatkan’ ini tidak pernah dilakukan
oleh salaf.

Intinya, baik bila kita
berhati-hati dalam melabeli.

Kontributor

  • Yendri Junaidi

    Bernama lengkap Yendri Junaidi, Lc., MA. Pernah mengenyam pendidikan di Perguruan Thawalib Padang Panjang, kemudian meraih sarjana dan magister di Universitas Al-Azhar Mesir. Sekarang aktif sebagai Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Puteri Padang Panjang.