Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Buku

Buku Islam ala Prabowo: Tafsir, Kontroversi, dan Baiat yang Tak Terhindarkan

Avatar photo
2910
×

Buku Islam ala Prabowo: Tafsir, Kontroversi, dan Baiat yang Tak Terhindarkan

Share this article
Buku Islam ala Prabowo: Tafsir, Kontroversi, dan Baiat yang Tak Terhindarkan
Buku Islam ala Prabowo: Tafsir, Kontroversi, dan Baiat yang Tak Terhindarkan

‎Di republik ini, setiap presiden membawa cerita dan harapannya sendiri. Prabowo Subianto, yang kini duduk di kursi RI‑1, pun datang dengan riwayat panjang perjalanan politik dan panggilan sejarah yang tidak mudah. Ia terpilih melalui kontestasi yang memunculkan banyak perbincangan: dari kehadiran Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden yang menuai pro-kontra, hingga riak-riak politik yang masih membayangi dari masa lalu militernya.

Namun memang dalam setiap perjalanan politik, ada kalanya seorang tokoh memperlihatkan sesuatu yang berbeda—sebuah percikan yang tidak terduga, di tengah tafsir publik yang riuh. Misalnya aku ingat saat Prabowo berbicara di KTT D‑8 Mesir tahun 2024. Di hadapan negara-negara Muslim, ia mengirimkan suara yang nyaris asing dari seorang pemimpin Indonesia dalam beberapa dekade terakhir:

“Kalau kita lemah, bagaimana kita bisa mendukung Palestina? Bagaimana kita bisa menolong rakyat Gaza? Kita harus kuat, kita harus bersatu. Negara-negara Muslim tidak boleh saling melemahkan.”

Mungkin ini masih sebatas wacana, tetapi bagi sebagian orang, kata-kata itu sudah cukup menjadi oase kecil—menyembuhkan pilu yang pernah mengendap, ketika isu-isu seperti persatuan umat Islam nyaris lenyap dari diplomasi kita.

Barangkali di situlah letak kerumitannya: politik tak pernah sekadar soal benar dan salah, iman dan kufur. Ia selalu berada di wilayah abu-abu, di mana kata-kata bisa menjadi harapan, sekaligus ujian bagi kesabaran kita sebagai rakyat.

‎Namun, apa yang seharusnya kita cari dari seorang presiden? Kesempurnaan iman? Atau kemampuan menjaga stabilitas bangsa?

‎Pertanyaan itu, entah bagaimana, menjadi gema sepanjang halaman-halaman Islam ala Prabowo. Buku ini tidak menawarkan jawaban dari mulut Prabowo sendiri. Tidak ada catatan tentang wudhu yang khusyuk di subuh hari, zikir lirih di antara rapat kabinet atau buku fikih apa saja yang Prabowo baca. Tidak. Buku ini bicara dengan suara orang lain—tokoh politik, ulama, akademisi, dan mantan jenderal—yang masing-masing menafsirkan Prabowo melalui lensa pengalaman mereka.

‎H. Ahmad Muzani, Wakil Ketua MPR RI, membuka prolog dengan nada integrasi spiritualitas dan visi kebangsaan. Di ujungnya, Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim mengakhiri dengan refleksi tentang Umar bin Abdul Aziz, seolah ingin mengatakan: seorang pemimpin tidak harus sempurna untuk membawa kebaikan bagi umat.

‎Inilah yang membuat buku ini penting: ia bukan hagiografi yang memutihkan segala cela, tetapi mosaik tafsir yang menunjukkan bahwa dalam politik, persepsi sering lebih kuat dari realitas.

Buku Islam ala Prabowo: Tafsir, Kontroversi, dan Baiat yang Tak Terhindarkan

Penerbit Atmo Sphere berhasil menegaskan bahwa buku ini adalah sebuah karya apresiatif, bukan catatan spiritual mendalam. Yang kita dapatkan adalah tafsir pengalaman—potongan kisah dan pandangan dari para pemikir Islam, politisi, dan intelektual.

‎Ada Prof. Yusril Ihza Mahendra yang bicara tentang keadilan sosial, Kiyai Said Aqil Siradj dengan Islam Nusantara-nya, hingga TGB Muhammad Zainul Majdi yang mengajak kita melihat Prabowo lewat kaca mata moderasi Islam. Dari barisan militer, ada Jendral AM Hendropriyono yang memotret Prabowo sebagai nasionalis spiritual. Dan dari kalangan akademisi, Prof. Muhadjir Effendy hingga Prof. Abdul Mu’ti menyumbang analisis tentang kepemimpinan dan pendidikan.

‎Mereka datang dari berbagai latar: politik, militer, pesantren, universitas. Dan di sinilah letak daya tarik buku ini—ia adalah tafsir kolektif tentang seorang presiden yang lebih sering dibicarakan daripada didengar doa-doanya.

‎Lalu bagaimana kita, sebagai rakyat, harus menyikapi semua tafsir ini?

‎Dalam tradisi Ahlussunnah Wal Jamaah, ada sebuah kaidah yang sering dikutip: “Baiat kepada pemimpin yang sah adalah kewajiban, selama ia tidak memerintahkan maksiat”. Aku mendengar penjelasan Gus Ulil saat ngaji online tentang Imam Al-Ghazali dalam al-Iqtishad fi al-I’tiqad, menurutnya Imam Al-Ghazali lebih memilih seorang pemimpin yang kuat, meski fasiq. Karena itu ia lebih layak diangkat daripada yang saleh tetapi lemah, sebab stabilitas politik adalah rahmat; fitnah kekacauan adalah bencana yang melumat iman.

‎Aku tidak mengatakan Pak Prabowo fasiq, namun aku juga tidak akan terburu-buru menobatkannya sebagai pemimpin yang saleh. Sebab politik selalu menjadi ruang di mana manusia diuji, bukan hanya pada iman pribadi, tapi pada keberanian mengambil keputusan yang seringkali penuh risiko moral.

‎Aku melihat Pak Prabowo sebagai manusia biasa yang kebetulan ditakdirkan memimpin sebuah bangsa besar dengan luka sejarah yang panjang. Sama seperti kita, ia memikul kontradiksi-kontradiksi dalam dirinya—antara idealisme dan kompromi, antara nasionalisme dan tuntutan global, antara iman dan kepentingan politik.

‎Buku Islam ala Prabowo ini, meski terasa normatif dan lebih merupakan tafsir orang lain tentang dirinya, tetaplah penting. Ia memberi kita semacam peta wacana: bagaimana para tokoh politik, ulama, akademisi, hingga militer memandang seorang Prabowo dari lensa Islam. Ada yang melihatnya sebagai pelanjut spirit Umar bin Abdul Aziz, ada yang memotret keberpihakannya pada kaum mustadh’afin, ada pula yang memuji strategi politiknya yang diklaim sebagai bagian dari diplomasi fast track untuk umat.

‎Tetapi barangkali, yang lebih penting bagi kita bukanlah apakah semua tafsir itu benar, melainkan apa yang bisa kita petik dari pergulatan tafsir tersebut. Karena dalam politik, seperti kata Al-Ghazali, “stabilitas adalah rahmat.”

‎Maka jangan bayangkan Prabowo sebagai Muslim sempurna. Ia bukan Nabi, bukan sahabat Nabi. Ia, seperti kita semua, manusia biasa dengan celah dan asa. Namun takdir membawa kita untuk berbaiat kepadanya, bukan karena ia maksum, tetapi karena ia adalah pemimpin yang sah. (Wakilnya tidak termasuk, tentu saja.)

‎Hingga tiba saatnya ada buku yang lebih dekat—yang menyingkap ruang-ruang sunyi Prabowo dengan Tuhannya—Islam ala Prabowo ini sudah cukup menjadi penanda zaman: sebuah mosaik tafsir tentang seorang pemimpin yang kita lihat dari jauh, kita diskusikan di meja kopi, namun jarang kita doakan di sepertiga malam.

Mungkin begitulah nasib setiap pemimpin. Mereka lebih sering jadi bahan tafsir daripada manusia biasa yang, di balik panggung besar politik, juga tengah belajar mencari jalan pulang pada Tuhannya.

Kontributor

  • Mabda Dzikara

    Alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekarang aktif menjadi dosen di IIQ Jakarta.