Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Tirakat Ulama Al-Azhar dalam Menuntut Ilmu

Avatar photo
45
×

Tirakat Ulama Al-Azhar dalam Menuntut Ilmu

Share this article

Di masa lalu ulama memang banyak dan yang mengajar juga banyak. Syekh Usamah Al-Azhari pernah bercerita bahwa dulu di masjid al-Azhar, satu kitab saja bisa dijelaskan oleh 15 orang syekh. Setiap orang yang datang ke sana di masa itu, tidak akan kesulitan menemukan tingkat pengajian yang cocok dan penjelasan syekh yang sesuai untuknya.

Kita yang mendengar cerita seperti ini, membandingkan dengan kondisi saat ini, pasti akan membayangkan begitulah kondisi ta’lim (pengajaran) ideal yang seharusnya. Andaikan kita hidup sezaman dengan ulama-ulama besar itu dan belajar langsung kepada mereka pasti kualitas keilmuan kita akan lebih baik dari sekarang.

Dari sisi ini mungkin benar, tapi ada satu hal yang terluput oleh kita.

Hidup mereka di zaman dulu itu susah. Hidup mereka tidak enak. Banyak di antara ulama dan pelajar itu hidup miskin. Saking miskinnya makan makanan yang layak saja sulit.

Menderita Kelaparan hingga Bertahun Tak Makan Daging

Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari bercerita bahwa selama masa belajarnya di Azhar, beliau sering mengalami kelaparan. Sampai-sampai karena tidak adanya makanan, beliau mengumpulkan sisa-sisa kulit semangka di sekitar tempat wudhu, kemudian beliau basuh dan beliau makan. Dan itu beliau alami selama bertahun-tahun.

Murid beliau, Imam Ibnu Hajar al-Haitami tidak jauh berbeda. Ibnu Hajar bercerita, “Di Al-Azhar aku menderita karena rasa lapar yang tidak akan sanggup ditahan oleh manusia pada umumnya kalau bukan karena pertolongan Allah.”

Beliau melanjutkan, “Lebih kurang 4 tahun aku belajar di sana tidak pernah sekalipun aku makan daging. Kecuali pada satu malam, kami diundang pergi makan, yang ternyata adalah daging yang dibakar. Kami tunggu hingga gelapnya malam. Tapi ternyata dagingnya kering seperti daging yang tidak masak. Makan satu suappun aku tak sanggup.” Ya Allah.

Benarkah Kita Penuntut Ilmu?

Semiskin-miskinnya pelajar sekarang, saya tidak pernah mendengar ada yang mencari sisa-sisa kulit semangka untuk dimakan. Saya juga tidak pernah mendengar ada pelajar yang menderita karena lapar. Kalau lapar pasti pernah. Tapi sampai menderita karena lapar? Kita sekarang kalaupun tidak ada uang masih bisa ngutang sama kawan. Kalau untuk makan pasti ada yang membantu. Meskipun makan secara sederhana, makan masih terasa enak. Sesusahnya pelajar zaman sekarang masih ada uang untuk beli paket internet.

Ironisnya, kita sering menjadikan susahnya hidup sebagai alasan mengapa kita tidak belajar dengan sungguh-sungguh. Nyatanya yang ada itu bukan karena hidup susah, tapi karena kita saja yang pemalas. Kita para pelajar terlalu manja. “Nantilah kalau saya dapat minhah (beasiswa) baru belajar sungguh-sungguh.” Kita cuma mencari-cari alasan menutupi kemalasan kita dalam belajar. Sekian banyak waktu kosong dalam sehari berapa jam yang kita gunakan untuk belajar? Atau mungkin seminggu penuh tidak menyentuh kitab kita tidak merasakan apa-apa?

Para ulama di zaman dulu menjalani hidup yang lebih susah dari kebanyakan kita, dan itu tidak mencegah mereka tetap gigih menuntut ilmu. Bayangkanlah sesaat kalau kita yang berada di posisi mereka. Menjalani hidup seperti kondisi kehidupan mereka. Mungkin dari awal kita sudah langsung banting stir. Nggak kuat.

Intinya, untuk belajar itu memang mesti berkorban. Kalau mau jadi penuntut ilmu, jangan tunggu jadi kaya raya dulu baru belajar. Kalau kita lebih bersyukur, sebetulnya nikmat dan kelapangan yang masing-masing kita miliki sekarang sudah amat sangat banyak. Luangkanlah waktu untuk belajar. Mulailah dari sekarang!

Kontributor

  • Khalilul Rahman

    Khalilur Rahman, Lc. Dipl. Mengenyam pendidikan Madrasah Sumatera Thawalib Parabek dan Universitas Al-Azhar.